Imawan Mashuri: Poin Draf Perubahan di RUU Penyiaran Sudah Kebingler

Jumat 24-05-2024,11:49 WIB
Editor : Naya Pramestya Zahra

AMEG.ID - Penolakan terhadap Revisi Undang Undang (RUU) Penyiaran, terus bergulir dari berbagai kalangan. Tidak sedikit yang mewujudkan penolakan tersebut, dalam aksi unjuk rasa. Yang juga sudah digelar di berbagai tempat.

Di Malang Raya sendiri, jurnalis yang bergabung dalam Lintas Organisasi Profesi, menggelar demo pada Jumat (17/5/2024) lalu. Hampir seratus wartawan yang berasal dari PWI Malang Raya, AJI Malang, IJTI Malang dan PFI Malang, menggelar aksi di depan Gedung DPRD Kota Malang.

Kali ini penolakan itu kembali disuarakan. Oleh tokoh pers nasional yang berasal dari Malang Raya. Imawan Mashuri, pemegang press card number one, menilai jika RUU Penyiaran itu sampai disahkan DPR RI, maka tak ubahnya menjadikan jurnalis hanya menjadi corong pemerintah.

“Dengan melarang penyiaran berita investigasi, itu menandakan mereka ingin mengkebiri wartawan. Karena berita investigasi adalah kasta tertinggi dalam dunia pers.”

“Jika dilarang membuat berita investigasi, artinya wartawan hanya boleh memberikan berita-berita yang sudah disiapkan. Jadi wartawan hanya sebatas jadi corong pemerintah,” kata Imawan yang juga Dewan Penasehat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jatim.

Draft RUU Penyiaran tersebut, sejatinya merupakan revisi dari UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Pasal-pasal dalam RUU inisiatif DPR RI inilah, yang dianggap dapat membatasi kinerja jurnalis dan mengancam kebebasan pers.

Dalam wawancaranya bersama Radio City Guide 911 FM, Imawan juga menyoroti beberapa poin perubahan yang menurutnya sudah  keblinger.

“Saya sampai penasaran, siapa yang punya gagasan seperti itu. Termasuk di pasal 42 ayat 2, yang menjadi salah satu titik perdebatan utama. Masak penyelesaian sengketa pers, akan diurusi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Itu kan sudah bertentangan dengan UU Pers 40 Tahun 1999, yang menetapkan Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik,” tandas anggota Dewan Pakar PWI Jawa Timur tersebut.  

Padahal, katanya, media adalah salah satu pilar demokrasi. Yang juga bertugas sebagai kontrol sosial, lewat kritikan-kritikan mereka yang dituangkan dalam karya jurnalistik. Sementara kritikan itu, adalah vitaminnya demokrasi. Sebagai penyeimbang penyelenggara negara.

“Pikiran apa yang ada di otak mereka itu. Sehingga akan menarik penyelesaian sengketa pers ke ranah Komisi Penyiaran Indonesia. Padahal masih ada UU No 40 tentang Pers, yang menyebutkan setiap perselisihan pers itu diselesaikan oleh dewan pers,” lanjut mantan Ketua ATVLI ini.

Jika itu sampai terjadi, tandas Imawan yang juga CEO Arema Media Group ini, bakal terjadi ketidak-singkronan antara Revisi UU No 32 tentang Penyiaran, dengan UU No 40 tentang Pers.

Selain itu, Pasal 50 B ayat 2 huruf (k), yang mengatur larangan terhadap konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Juga dianggap mirip dengan “pasal karet” dalam UU ITE yang membatasi kebebasan pers.

Karenanya Imawan menegaskan, kalau DPR RI benar-benar mengesahkan draft itu, maka organisasi profesi jurnalis, bisa saja melakukan gugatan.

“Saya pernah tiga kali menggugat menteri (Menkominfo). Saya pernah menjadi Ketua ATVLI, saat itu menteri membuat Permen tentang digitalisasi di Indonesia. Salah dia melakukan, saya gugat dan menteri kalah.”

“Menteri bikin baju baru lagi, saya gugat lagi. Bikin lagi, ya saya gugat lagi,” jelasnya. Sebab pers nasional, tandas mantan Ketua Parfi Jawa Timur ini, memiliki hak untuk mencari, mengolah gagasan, serta menyebarluaskan informasi. Sebagai sebuah karya jurnalistik, yang berkualitas tanpa adanya pembatasan. Terlebih dalam melakukan pemberitaan bersifat investigatif. (Ra Indrata)

Kategori :

Terpopuler