Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) akan punya masjid dan asrama di Putat Jaya Gang IV B tahun ini. Santrinya akan disekolahkan di Sekolah Bahrul Ulum (SD, SMP, SMK) yang juga dikelola keluarga besar pendiri JeHa. Kombinasi pendidikan formal dan non formal yang sudah direncanakan sejak lama itu kini mulai terwujud.
***
AMEG - Kepala SD Bahrul Ulum Surabaya Muhammad Tholin Effendi menutup ruang kerjanya, Selasa (5/5). Ia kunci pintunya karena siang itu semua kegiatan sekolah sudah beres. Satu per satu guru dan staf sekolah menuju ke tempat parkir di ujung sekolah. Mereka pamit ke Tholin sebelum keluar gerbang.
Tholin tak langsung pulang. Ia mau menemani kami keliling sekolah yang dibangun Haji Umar Abdul Aziz pada 1970-an itu. Haji Umar adalah salah satu tokoh yang menyebarkan dakwah di Jarak-Dolly. Tiga anaknya kelak meneruskan dakwah di lokalisasi dengan mendirikan Pesantren Jeha pada 2008.
“Saya sudah ngajar di sini sejak 1980. Sudah lama ya,” ujar Tholin sambil mengajak kami berjalan ke tangga menuju lantai dua. Di sebelah kanan kami terdapat Musala Baiturrohman.
Dahulu Tholin mengajar di sana tanah musala itu. Ruang kelasnya sederhana. Muridnya pun terbatas. Belum ada sekolah Islam di Jarak Dolly. Sehingga pendiri sekolah harus kerja keras untuk dapat murid.
Haji Umar cuma punya lahan terbatas saat membangun Bahrul Ulum. Lambat laun perjuangannya mulai membuahkan hasil. Sekolah bisa dapat murid lebih banyak. Tanah di sekitar sekolah juga berhasil dibebaskan. “Sekolah lama dirobohkan. Sekarang jadi musala ini,” ujar Tholin.
Kini Bahrul Ulum berubah menjadi salah satu SD Islam besar di Surabaya. Menurut data pokok pendidikan (dapodik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah siswa sekolah itu mencapai 347, sementara siswinya 406.
Kini gedung sekolahnya sudah dibangun menjadi tiga lantai. Tholin mengajak kami melihat ruang kelas di sekolah yang catnya bernuansa hijau itu.
Di dekat tangga utama terdapat ruang panjang yang berisi puluhan meja kursi. Ruang serbaguna itu adalah dua ruang kelas yang disekat. Sekolah memanfaatkannya sebagai ruang serbaguna selama pandemi.
Sudah lebih dari setahun ini suasana sekolah sudah tak lagi ramai. Semua siswa belum boleh ke sekolah. Terutama yang SD.
Selain SD, Bahrul Ulum juga memiliki SMP dan SMK. Gedung SD dan SMK memiliki satu gerbang masuk. Sementara SMP Bahrul Ulum dibangun terpisah, tak jauh dari SD dan SMK Bahrul Ulum.
Dahulu, sekolah ini selalu mendapat intimidasi. Terutama dari eksponen PKI yang banyak tinggal di eks lahan makam itu. Bahkan sekolah dan masjid yang dibangun Haji Umar sempat diteror dengan dilempari kotoran manusia.
Putra Haji Umar, Kiai Nu’man kini meneruskan perjuangan dakwah itu. Teror dan intimidasi juga ia terima saat mendirikan JeHa. Namun hal itu dianggap tidak sebanding dengan perjuangan Haji Umar. “Dakwah sekarang itu ibarat naik kuda dipayungi. Wis koyok (sudah seperti) Ndoro Bei,” kata Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Karena itulah ia tidak mengeluh ketika menghadapi banyak tekanan di Jarak-Dolly. Pesantren berani berdiri di tengah-tengah lokalisasi Jarak-Dolly saat tempat pelacuran masih dianggap sumber devisa daerah. Setiap wisma punya izin ke pemkot. Mereka harus bayar pajak hiburan setiap bulan.
Setelah Wali Kota Tri Rismaharini menutup Dolly pada 2014, langkah JeHa semakin mulus. Mereka bisa membebaskan tiga rumah sekaligus di Putat Jaya Gang IV pasca penutupan. Di tanah itulah JeHa membangun masjid dan asrama. “Harus diakui dampak kebijakan Bu Risma itu besar sekali,” ujarnya.