"Anda bisa berbahasa Mandarin?" tanya saya pada Mas Agus, putra sulung Pak Bingky.
"Mboten saget," jawabnya. "Menawi boso Jowo kulo ngertos," tambahnya.
Bingky punya anak 4 orang. Semuanya tidak ada yang bisa bahasa Mandarin. Mereka hidup secara Jawa. "Saya juga tidak bisa Mandarin," ujar sang istri.
"Ibunda Pak Bingky itu wanita Jawa asli. Ayah Pak Bingky yang Tionghoa totok," ujar Ny Bingky.
Bingky lahir di Surabaya. Dengan nama bayi Po Soen Bing. Sedang istrinya kelahiran Tuban.
Nama Bingky juga tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan Imlek Nasional.
Semasa Gus Dur jadi presiden, Bingky sering ke istana. Biasanya bersama Budi Tanujaya dan Chandra.
"Pernah, kami bertiga, jam 4 pagi berangkat ke Istana," ujar Budi Tanujaya kepada saya tadi malam. Di perjalanan mereka bicara-bicara: apa yang harus disampaikan ke presiden.
"Kita harus bikin Imlek Nasional," ujar Budi Tanujaya. Mereka setuju.
Imlek, sampai hari itu masih dilarang untuk dirayakan.
Di Istana, soal Imlek itu disampaikan ke Presiden Gus Dur. "Beliau langsung setuju. Bahkan Imleknya beliau minta harus dua kali," kata Budi Tanujaya. "Imleknya di Jakarta. Cap Go Meh-nya di Surabaya," ujar Gus Dur seperti ditirukan Budi
Tanujaya. Dua-duanya dihadiri presiden.
Natal saja satu kali. Kristen dan Katolik harus jadi satu. Waisak juga satu kali. "Imlek langsung dua kali," ujarnya lantas tertawa.
Budi Tanujaya kenal Gus Dur sejak lama. Ketika Budi punya proyek menerbitkan ensiklopedia Indonesia. Mereka sudah sering diskusi. "Gus Dur yang akan mengisi bab tentang Islam," ujar Budi. Tapi Gus Dur tidak punya cukup waktu.
Lantas digantikan Dr. Nurcholish Madjid. Akhirnya tokoh pembaharu Islam lainnya, Johan Effendi, yang menulis di Ensiklopedia 18 jilid itu.
Budi Tanujaya adalah pimpinan pusat Matakin –Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia. "Saya dua kali jadi ketua umum tanfidziyah-nya. Satu kali jadi sekretaris syuriah-nya Matakin," ujar Budi mengutip istilah dalam NU.