Khawatir Peningkatan Angka Putus Sekolah

Minggu 06-06-2021,09:09 WIB
Reporter : Doan Widhiandono
Editor : Doan Widhiandono

Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari rumah sudah berlangsung setahun. Dampaknya dikeluhkan banyak kalangan. Termasuk oleh guru, orang tua, siswa, bahkan Kepala Dinas Pendidikan Jatim Wahid Wahyudi.

***

AMEG - “KARENA kami sudah lakukan evaluasi dan ternyata memang tidak efektif,” ujarnya. Para siswa mengalami learning loss alias kegagalan pembelajaran. Efeknya bakal menghambat pembangunan manusia dan ekonomi di hari depan.

Menurut Wahid, PJJ sangat mengganggu kondisi psikososial siswa. Kurangnya waktu bergaul dengan teman sebaya membuat siswa rentan stres. Pihaknya juga menemui banyak siswa yang daya tangkapnya semakin menurun dan tidak optimal. Selain itu, orang tua pun dinilai tidak mampu mendampingi proses belajar dii rumah. Sehingga tumbuh kembang para siswa menjadi terhambat. 

Dengan kondisi siswa seperti itu, lambat laun membuat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah menjadi rendah. Masyarakat berasumsi bahwa PJJ identik dengan nonaktifnya sekolah. Di berbagai daerah, kata Wahid, orang tua mulai banyak yang memindahkan anaknya ke pesantren. Dia khawatir jika pembelajaran tatap muka (PTM) tidak segera dilaksanakan maka angka putus sekolah meningkat. “Sekolah sudah dianggap bubar. Ini bisa memicu angka putus sekolah meningkat di Jatim,” imbuhnya. 

Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) M. Isa Ansori sependapat dengan hal tersebut. Pihaknya mendesak PTM harus segera dilaksanakan. PJJ mengakibatkan banyak anak mengalami kekerasan domestik selama di rumah. Orang tua dan anak memiliki pola komunikasi yang buruk. Terutama karena perspektif orang tua terhadap anak masih sangat lemah. Anak hanya dianggap sebagai aset lalu dibebani dengan kehendak orang tuanya. “Banyak orang tua yang tidak siap mendampingi anak mereka. Ruang pengasuhannya menjadi sempit,” katanya.

Di sisi lain, Ketua Forum Komunikasi Pendidikan Vokasi Berkemajuan Ali Yusa berbeda pandangan. Dia berpendapat bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja. Baik di sekolah maupun pesantren. Fenomena ini dianggap tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Ketika pindah ke pesantren lalu di sana ada program sekolahnya kan sama saja,” ujarnya.

Justru, menurut Ali, pendidikan pesantren cukup aman selama pandemi. Intensitas warga pesantren sangat rendah dalam interaksi dengan orang-orang yang di luar pesantren. Sehingga, kontrolnya menjadi mudah. Bahkan, model pesantren bisa diadaptasi oleh sekolah. Misalnya, dengan membuat program semi-boarding school

“Pesantren sifatnya kan komunal. Jarang kontak langsung dengan dunia luar. Boarding school menarik untuk diadaptasi. Mondok seminggu, seminggu pulang,” ungkapnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler