AMEG - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim bersama DP3AP2KB Kota Batu mulai proses assessment kepada siswa dan alumnus Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), pasca terkuaknya kekerasan seksual, fisik dan ekploitasi ekonomi yang diduga dilakukan founder utama sekolah itu.
Kepala DP3AP2KB Kota Batu, Mokhamad Furqon, mengatakan, assessment dilakukan untuk mengetahui kondisi psikologis anak, agar kegiatan belajar mengajar bisa tetap berjalan normal dan maksimal.
"Assessment kami lakukan kepada 107 siswa dan alumnus SPI, 80 siswa aktif dan 27 alumnus," kata Furqon kepada ameg.id, Selasa (15/6/21).
Menurutnya, proses assessment berlangsung hingga Jumat (18/6/21). Setiap hari 20 siswa mengikuti rangkaian proses assessment, selama kurang lebih 7 jam.
"Kegiatan ini kami lakukan di Panti Sosial Petirahan Anak (PSPA) Bima Sakti di Jalan Trunojoyo, Songgokerto, Kota Batu. Dilakukan empat assesor dari Himpunan Psikologi Malang Universitas Negeri Malang (UM) yang tergabung dalam Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia)," paparnya.
Assessment meliputi tes tulis, wawancara, menggambar dan lainnya. Hasilnya akan diserahkan ke Polda Jatim, sebagai bahan memperkuat data penyidik Polda untuk menentukan proses hukum selanjutnya.
"Ini kami lakukan setelah ada rekomendasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga resmi di bawah presiden. Jumat lalu mereka meninjau langsung Sekolah SPI," katanya.
Sementara itu, Ketua Divisi Pengembangan Jaringan Anak LPA Jatim, Budiyati, mengatakan, kasus-kasus yang di dalamnya melibatkan anak, seringkali baru diketahui ketika anak sudah menjadi korban. Karena itu, dari hari ke hari pihaknya semakin memassifkan pencegahan.
"Pencegahan harusnya tidak hanya dilakukan anak saja, tapi mulai dari orang tua, lembaga tempat belajar dan seluruh masyarakat," katanya.
Ketika sebuah kasus meledak, semua lembaga yang konsen terhadap anak berhak melakukan penyelamatan. Karena ketika seorang anak mendapat kekerasan, tak hanya rasa sakit saja yang mereka rasakan, psikis juga terganggu.
"Sejak Januari hingga bulan ini kami mencatat kekerasan anak di Jawa Timur mencapai 600 korban. Itu sangat tinggi," katanya.
"Di Jawa Timur, paling tinggi kekerasan seksual pada anak, seperti pencabulan, eksploitasi dan kekerasan seksual," sambungnya. (*)