Istri bunuh suami, suami bunuh istri. Gegara cemburu. Kusrini, 30, membunuh Budiantoro, 38, bos wajan di Bantul, Yogya. Sementara itu, Jony Pranot, 27, bunuh Putri Irma Camelia, 26, di Surabaya. Terjadi pekan lalu. Mudahnya bilang cinta, lalu menikah. Entengnya, membunuh kekasih hati. Mengapa? ***
Jawaban, bisa menyitir ratusan teori cinta. Cinta tragedi. Kriminolog Universitas Gloucestershire (Inggris) Dr Jane Monckton Smith melakukan riset 372 pembunuhan suami istri di Inggris, dilanjut 30.000 pembunuhan serupa sedunia pada 2017. Hasil riset dipublikasi BBC. Pembunuhnya, 81 persen suami. Sebenarnya, tanpa riset pun komposisi itu bisa terkira-kira. Lelaki lebih tega. Kalaupun wanita membunuh suami, minta bantuan lelaki juga. Selingkuhannya (kebanyakan). Contoh, pembunuhan bos pabrik wajan di Bantul. Kusrini selingkuh dengan berondong Nur Kholis, 22. Yang karyawan pabrik wajan milik Budiantoro. Yang juga masih keponakan Budiantoro. Selingkuh sampai lengket. Lama-lama ketahuan, Budiantoro marah. Mengancam membunuh istrinya, juga Nur Kholis. Kusrini-Nur Kholis takut. Saat gelar perkara di Polres Bantul Kamis (22/4), Nur Kholis kepada wartawan berdalih: “Sebelum saya dibunuh, lebih baik saya bunuh duluan.” Diakui, pembunuhan dirancang sejoli selingkuh, sekitar sebulan (memenuhi unsur pasal 340 KUHP Pembunuhan Berencana, ancaman hukuman mati). Mereka analisis kebiasaan sehari-hari Budiantoro. Akhirnya ketemu titik lemah Budiantoro, paling smooth, menurut mereka. Dipancing bersebadan. Oleh istri. Saat itulah Budiantoro (dan semua lelaki) lengah pol. Sedangkan Nur Kholis sudah ngumpet di gudang rumah. Siap dengan kawat baja. Benar saja. Hubungan suami istri berlangsung. Di ruang tamu (berarti, potensi seks suami, normal). Kusrini memberikan sinyal kepada Nur Kholis. Sinyalnya unik: Desahan. Dan, karena posisi Nur Kholis di dalam gudang, desahan harus lebay. Kira-kira setengah histris, gitu. Nur Kholis keluar dari sarangnya. Langsung, menjerat leher Budiantoro dari belakang. Cekik kawat. Kreeek… Supaya bunyi ngorok tak terdengar tetangga, Kusrini mengaku, membekap mulut suami. Bekap abis. Tiga puluh detik, tamat. Kematian yang smooth. Jenazah Buadiantoro dibuang ke Sedayu, Bantul. Mereka ditangkap polisi melalui kronologi mundur: Penemuan mayat. Identifikasi mayat. Orang pertama diperiksa polisi, Kusrini. Tak butuh lama, Kusrini mengakui perbuatannya. Semua barang bukti terkumpul. Rekonstruksi matching (cocok berkesinambungan). Kusrini-Nur Kholis tersangka, ditahan. Kasus Surabaya mirip. Juga dengan cara cekik. Jony Pranot setelah mencekik mati istrinya bingung. Padahal, sang istri, Putri Irma, hamil lima bulan. Jasad dibiarkan di kamar. Sehari kemudian janin keluar sendiri, mati. Miris sekali. Jony kebingungan, oleh bau busuk dua bangkai, minta bantuan tetangga. Mengangkat jenazah dinaikkan motor serbaguna roda tiga. Jasad dibuang di lahan kosong. Dekat kantor PW NU Jatim, Jalan Masjid Al Akbar Timur, Surabaya. Kayak buang dua ekor anjing. Polisi, tak pakai lama, memeriksa Jony, langsung tersangka. Pengakuan Jony, istrinya selingkuh. Ia cemburu, membunuh. Mengapa begitu gampang, berdalih sepele, pembunuhan suami istri? Mengapa mereka bersatu kalau akhirnya seperti itu? Jane Monckton Smith punya teori menarik. Berdasar hasil riset. Dia sebut delapan indikasi sebelum pembunuhan antarorang tercinta (bisa suami istri atau kumpul kebo). Delapan itu berurutan. Seiring waktu. Dengan mengetahui ini, potensi kematian bisa dihindari. Demikian: 1. Riwayat pra hubungan. Penguntitan atau pelecehan oleh pelaku. 2. Romansa berkembang cepat, dari pacaran jadi hubungan serius. 3. Hubungan didominasi kontrol koersif, intensif, oleh calon pelaku. 4. Butuh pemicu, membuat kontrol pelaku hilang. Biasanya cekcok. 5. Eskalasi kontrol koersif naik. Pelaku mengancam bunuh atau bunuh diri. 6. Mendadak, pelaku berubah pikiran. Dari kontrol keras jadi damai. 7. Perencanaan pembunuhan. Pelaku beli senjata, menganalisis korban. 8. Pembunuhan. Mungkin juga melukai orang lain, seperti anak-anak. Perhatikan nomor enam. Di situ sangat krusial. Monckton Smith menyebut, perubahan mendadak itu strategi pelaku. Agar tidak dicurigai calon korban. Agar calon korban lengah. Pelaku pura-pura damai, pura-pura baikan. Di situ dibutuhkan ketajaman intuisi calon korban. Intuisi tajam, kecerdikan, kebijakan. Sebab, bisa saja itu bukan sandiwara pelaku. Melainkan, pelaku sungguh-sungguh telah insaf. Benar-benar mau damai. Terbaik, calon korban ekstra waspada. Repotnya, titik krusial itu, berjarak sangat pendek dengan titik akhir. Kalau calon korban tidak cerdas dan bijak, antisipasi bisa terlambat. ”Perhatikan kontrol koersif pelaku. Jika intensitas terus naik, bahaya,” katanya kepada BBC. Sekali lagi, itu teori. Hasil riset ribuan pembunuhan suami istri. Hasil riset sebagai tesis 2017. Belum muncul antitesis. Sehingga tidak bisa disebut sintesis. Orang yang paling tahu kondisi pelaku adalah korban. Maka, amati pasangan Anda. Sudah sampai nomor berapa? (*)Gampang Bilang Cinta, lalu Membunuh
Selasa 27-04-2021,09:15 WIB
Editor : Djono W. Oesman
Kategori :