di Bochum, Jerman, Selasa, 29 Maret 2022, pakar belatung di situ bernama Dr Ersin Karapazarlioglu. Jurnal itu bertajuk: "When Maggots Solve a Murder".
Dr Karapazarlioglu orang Turki. Ia sudah 17 tahun penyidik kasus pembunuhan di Kepolisian Turki. Fokus pada post-mortem. Kini iaa memperdalam ilmu di Ruhr-Universität Bochum, di bawah koordinasi Prof Wolfang Kirchner, guru besar Fakultas Biologi dan Bioteknologi di situ.
Prof Kirchner pakar belatung.
Di jurnal itu disebut, semua mayat manusia pasti berbelatung. Tapi, jenis berbeda-beda. Belatung di mayat yang langsung dikubur setelah kematian, beda dengan belatung di mayat yang menunggu beberapa hari penguburan.
Belatung pada mayat yang terbuka, beda dengan belatung di mayat yang masuk peti mati. Semua teori tersebut berdasarkan riset di Ruhr-Universität Bochum.
Bahan percobaan riset adalah mayat babi. Karena struktur jaringan tubuh babi mirip manusia. Disebut riset entomologi forensik.
Dr Karapazarlioglu: “Ada dua metode untuk menentukan waktu kematian manusia menggunakan entomologi forensik. Meneliti belatung pada mayat. Atau meneliti serangga pada sekitar mayat. Kedua cara ini akan sampai pada kesimpulan yang sama, soal waktu dan penyebab kematian."
Teknik risetnya, menggunakan mayat dua babi dengan usia dan bobot yang kurang-lebih sama. Jam kematian harus sama, dengan cara dibunuh.
Babi yang satu dibiarkan berada di tempat terbuka. Di dalam ruangan, tapi terbuka, tidak di dalam kotak. Juga tidak dikubur.
Babi satu lagi dikubur, tapi dilapisi kaca. Sehingga mayatnya bisa dilihat tim peneliti dari permukaan tanah. Tujuannya, agar tidak sewaktu-waktu membungkar kuburan untuk meneliti perkembangan.
Karena, jika peneliti membongkar kuburan babi, maka merusak struktur mayat. Juga terkontaminasi dengan serangga di luar kuburan. Menimbulkan bias.
Pada mayat di tempat terbuka, lalat akan datang otomatis, paling cepat sejam setelah detik kematian. Sasaran utama yang dituju lalat adalah mata. Kalau di mata sudah terlalu banyak lalat, maka lalat yang datang berikutnya hidung dan mulut. Gerombolan lalat berikutnya ke kuping.
Lalat di jasad, makan jaringan tubuh mati. Kemudian bertelur di situ. Lima hari kemudian telur menetas jadi belatung.
Jutaan belatung itu juga makan jaringan tubuh yang mati. Lalu membesar. Gemuk-gemuk. Kemudian jadi lalat.
Kurun waktunya, tepat sebulan sejak jadi belatung, berubah jadi lalat. Lalat baru bertelur lagi di situ, sebagai generasi ke dua. "Maka, penelitian belatung akan mengungkap titik waktu kematian," tulis Karapazarlioglu.
Mayat yang dikubur, juga berbelatung. Jumlah jutaan juga. Bentuk belatungnya beda dengan mayat di tempat terbuka. Kecepatan gerak dan makan kedua jenis belatung ini juga beda.