The Next Gontor ada di Surabaya

Kamis 06-05-2021,06:10 WIB
Reporter : Doan Widhiandono
Editor : Doan Widhiandono

Haji Umar mendirikan SMP Darul Ulum berdekatan dengan masjid. Sementara SD Darul Ulum yang didirikan lebih awal berjarak 50 meter dari SMP tersebut. Semuanya dibangun pada 1960-1970-an.

Ia punya sekolahan, tapi anak-anaknya tidak belajar di sana. Haji Umar sadar bahwa anak-anaknya akan meneruskan perjuangan dakwahnya. 

Mereka harus punya bekal lebih banyak untuk melanjutkan perjuangan di lokalisasi. Tak cukup hanya bersekolah di Surabaya. “Bersaudara enam orang, semua diungsikan ke Gontor. Saya angkatan 97 kalau Kiai Nu’man 87,” ujar Rofik, alumnus Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember itu. 

Entah disengaja atau tidak, Haji Umar mengirim semua anaknya ke Gontor. Ponpes yang banyak mencetak tokoh besar itu punya sejarah panjang yang mirip dengan pesantren JeHa.

Gontor adalah singkatan dari Nggon Kotor (Tempat Kotor). Kawasan hutan itu adalah tempat persembunyian perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, penjudi. Pelacuran dan segala kemaksiatan ada di sana.

Keadaan desa di sekitar Gontor kala itu juga sangat mundur. Kegiatan keagamaan mati. Situasinya sama seperti kawasan Kupang Gunung dan sekitarnya pada tahun 1960-an.

Haji Umar yang berhijrah dari Leran, Gresik ,mendapati tempat tinggal barunya di Surabaya begitu “gelap”. Sangat jauh dibandingkan Kota Santri Gresik yang jadi gudang pencerah agama. 

Ma Lima: madon, mendem, maling, main, dan madat (Main perempuan, mabuk, maling, judi, dan candu) yang ada di Gontor kini dijumpai juga di tempat tinggalnya.  Bahkan yang ini kalibernya lebih dahsyat.

Sampai tersohor bahwa Dolly adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, empat kali lebih besar dari lokalisasi Patpong di Bangkok, Thailand.

Sepulang dari Gontor, anak-anak Haji Umar tak langsung kembali ke Surabaya. Mereka melanjutkan ke universitas. Tiga dari enam anaknya akhirnya menjadi doktor.

Kiai Nu’man salah satunya. Ia dikirim ke Jakarta untuk kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Begitu kembali di Surabaya ia mengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sampai suatu saat, Bani Umar berkumpul. Mereka merasa kemaksiatan di Dolly semakin meresahkan. Mereka perlu berbuat lebih banyak untuk Dolly. Masjid dan sekolah Islam yang dirintis sang abah masih belum kuat untuk melawan kemaksiatan.

Nabilah Ramadhani (kiri) bersama Reva Fadila (kanan) saat mengaji bersama. (eko disway )

Saat itulah muncul gagasan membuat pesantren JeHa pada 2008. “Bapak nggak kuliah saja bisa berbuat banyak. Masak anak-anaknya yang disekolahkan sampai doktor diam saja?” ujar Kiai Nu’man. 

Gedung JeHa yang pertama ada di Putat Jaya IV B yang punya puluhan rumah karaoke dan tempat pelacuran. Meski sudah resmi ditutup pada 2014, Mo Limo masih ada di sana. Kini para pengurus terus berjuang agar JeHa bisa jadi The Next Gontor versi Surabaya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler