Ada 40 rumah karaoke dewasa di Putat Jaya IV B. Saat mereka tutup selama Ramadan, Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) mengebut pembangunan masjidnya di tengah-tengah gang. Setelah Lebaran, sudah ada salat berjamaah dan santri yang mengaji di sana. ***
SANTRI cilik pesantren JeHa berebut keluar ruangan malam itu, Jumat (30/4/2021). Mereka berlomba mencari sandal masing-masing yang sudah bercampur baur di depan Pesantren JeHa di Putat Jaya Gang IV B. Sementara itu santri dewasa bertahan di dalam pesantren. Mereka mengambil Alquran dan mulai membentuk lingkaran. Tadarus pun dimulai. Lantunan ayat-ayat Alquran itu terdengar nyaring. Mereka pakai pengeras suara sedangkan sound system milik pengusaha karaoke sedang mati total. Sebab, tak ada yang berani buka usaha saat Ramadan “Kalau tidak ramadan, dangdutannya nonstop,” ujar salah satu pendiri JeHa, M. Rofi’uddin. Kelak, tadarus malam itu akan pindah tempat. JeHa telah membeli tiga rumah pelacuran tepat di jantung Putat Jaya Gang IV B. Rumah nomor 25,27, dan 29 di tengah gang sudah terbeli. Rofik mengajak kami melihat tempat itu. Lokasinya 50 meter dari pesantren JeHa pertama yang berada di dekat mulut gapura. Kami jalan kaki. Sepanjang perjalanan banyak rumah yang pintunya tertutup. Lampunya dimatikan. Padahal malam itu masih pukul 20.00. Banyak penghuni yang pulang kampung saat Ramadan. Mereka akan kembali beroperasi setelah Lebaran. “Bisnis syahwat” memang sudah disapu pemkot sejak 2014. Namun sekali sapuan tidak bisa langsung bersih. Masih ada yang menyangkut. Dan kini berkumpul di Gang IV B. Di RT lain, warga sepakat tidak boleh ada lagi pelacuran. Termasuk di Putat Jaya Gang Lebar yang dulunya jadi salah satu tempat hiburan malam terbesar di kawasan Jarak-Dolly. Kini mereka yang terusir dari tempat lama pindah ke Putat Jaya Gang IV B. Semua dikumpulkan jadi satu bersama Pesantren JeHa. Tampaknya, beban dakwah JeHa semakin berat. Namun situasi itu justru membuat perjuangan mereka lebih efektif. Semua pengusaha karaoke dewasa itu pasti akan terganggu dengan keberadaan masjid di tengah gang. Mereka mungkin bisa bertahan. Namun pelanggan akan sungkan berbuat maksiat di dekat masjid. Suara karaoke akan beradu dengan corong masjid yang melantunkan salawat dan ayat suci. Rofik menyapa siapa pun yang ia temui dalam perjalanan menuju ke lokasi pembangunan masjid. Ia dikenal oleh preman maupun warga setempat. “Monggo, Pak Ustaz,” sahut mereka yang disapa. Ia berhenti di depan tanah nomor 27. Bangunan masjid sudah setengah jadi. Gedungnya tinggi menjulang dengan lampu putih yang sangat terang. Kelak, masjid itu akan menerangi wisma-wisma tua yang penuh kegelapan. Di dalam masjid sudah ada Kiai M. Nu’man, kakak Rofik. Ia sedang mengobrol dengan teman masa kecilnya, Mashuri, yang kini ikut membantu pembangunan masjid. “Beliau juga alumni Gontor. Tapi sangat paham desain dan bangunan,” kata Rofik saat memperkenalkan mereka. Belakangan ini Kiai Nu’man memang sering datang ke lokasi pembangunan bersama sahabatnya itu. Apalagi masjid sudah setengah jadi. Sudah dikeramik dan bisa dijadikan tempat berkumpul. Empat tahun lalu tiga rumah itu masih dipakai tempat hiburan malam. Karaoke dewasa buka sampai subuh. Ada kamar-kamar untuk pelacuran. “Yang khas di sini, tempat tidurnya pakai beton. Jadi harus ndodol-ndodol (dibongkar),” kata Nu’man sembari menunjuk tumpukan batu bata di samping masjid. Pengurus JeHa berkumpul saat mendengar kabar bahwa wisma tersebut akan dijual. JeHa melihat itu sebagai peluang pengembangan dakwah. Lokasi wisma sangat strategis. Dakwah di ujung gang bisa digeser ke pusat ke inti kemaksiatan di tengah gang. Pemilik melepas tanahnya dengan harga Rp 325 juta. Para pengurus JeHa berkumpul. Mereka tahu uang kas sudah menipis. Maka mereka mengupayakan berbagai cara agar uang terkumpul. Masing-masing pengurus harus urunan. “Sampai akhirnya terkumpul Rp 125 juta. Tapi bonek (bondo nekat) ae (saja),” ujar Rofik. Duit yang masih kurang Rp 200 juta itu diserahkan ke pemilik sebagai uang muka. Sisanya sambil berjalan. Dan dalam setahun, rumah itu lunas. JeHa juga membeli persil nomor 25 dan 29 di kanan kiri persil pertama dalam dua tahun berturut-turut. Donatur datang dari mana-mana. Bahkan dari luar negeri. Saat ada niat baik, upaya mereka untuk mengembangkan dakwah terasa begitu dimudahkan. Baru tahun ini pembangunan dimulai. Kali ini Gubernur Khofifah Indar Parawansa yang membantu. Rofik menunjukkan desain masjid yang akan dibangun itu dari smartphone-nya. Gedungnya membentuk huruf U. Ada ruang terbuka di tengah-tengah masjid. Tahun ini, bagian yang terbangun hanya masjid dan asrama sisi utara. Duitnya masih kurang. Fondasinya didesain untuk bangunan tiga lantai. Di atas masjid akan ada asrama putra dan ruang mengajar. Kiai Nu’man membayangkan, kelak pesantren akan dihuni ratusan santri dari berbagai daerah Setelah tiga atau lima tahun berdiri, target selanjutnya adalah membangun pesantren putri. “Insya Allah di gang dua. Dari sini, mentok, belok kiri ada gang. Nah, di situ,” ujar alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut. Lagi-lagi ia teringat dengan kisah Pesantren Gontor yang kisahnya mirip dengan JeHa. Tempatnya menimba ilmu itu juga didirikan di pusat kemaksiatan. Dahulu pendiri Gontor juga membangun pesantren putra lebih dahulu di era KH Imam Zarkasyi. Pesantren putri terbangun di generasi ke dua oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. “Kami adopsi sistem Gontor. Santri putra-putri tidak dicampur,” katanya. Rencana pengembangan di gang 2 juga selaras dengan perjuangan Haji Umar Abdul Azis, generasi pertama yang berjuang di jalan dakwah di Jarak-Dolly. Lima puluh tahun yang lalu, ia mendirikan SD, SMP, dan SMK Bahrul Ulum di gang itu. Ia juga membangun Masjid Baitul Hidayah tak jauh dari sekolahan. Kini generasi keduanya yang disebut Bani Umar meneruskan perjuangan itu. Jika sang abah membangun sekolah, maka anak-anaknya mengembangkan pesantren. Lembaga pendidikan formal dan nonformal itu akan disatukan menjadi program kelas unggulan berbasis asrama suatu saat nanti. (*)Duit Tak Cukup, Modal Bondo Nekat
Sabtu 08-05-2021,04:53 WIB
Editor : Doan Widhiandono
Kategori :