Geger Broadcast Pesantren Dolly Dijual

Minggu 09-05-2021,08:03 WIB
Reporter : Doan Widhiandono
Editor : Doan Widhiandono

Tiga eks wisma dan tempat karaoke dewasa di Putat Jaya Gang IV B terbeli dalam empat tahun terakhir. Di tanah itu, kini sudah berdiri masjid yang sudah setengah jadi. Pengurus Jauharotul HIkmah (JeHa) nekat membeli rumah itu meskipun tidak punya uang. ***

TIGA wisma yang sudah terbeli itu saling berdempetan. Nomor 25, 27, dan 29. Yang paling tengah telah dirobohkan dan menjadi masjid dengan desain modern minimalis. JeHa sebenarnya bisa merobohkan dua rumah lainnya dan membangunnya berbarengan. Tapi kalau dipaksa begitu, yang terbangun hanya fondasi. Kondisi keuangan mepet. Maka yang dibangun lebih dulu adalah wisma yang paling tengah. “Minimal jadi masjid dulu,” ujar salah seorang pendiri, JeHa M. Nasih, 12 April lalu. Wisma nomor 25 dan 29 akan dikembangkan kemudian, saat uang sudah terkumpul lagi. Akan ada kamar untuk para santri putra di sana. Para pekerja sedang libur siang itu. Kami dan Nasih bisa leluasa melihat progres pembangunan masjid pertama di Gang IV B yang bertetangga dengan puluhan tempat karaoke itu. Dinding masjid baru diplester. Tangga dan beton lantai duanya sudah jadi. Targetnya, akhir April sudah dikeramik dan bisa ditempati. Kami bisa melihat Putat Jaya Gang Lebar dari lantai dua. Pemkot Surabaya banyak membeli eks wisma di sana. Salah satunya dinamai Dolly Saiki Point. Mantan Wali Kota Tri Rismaharini menggunakan tempat itu untuk memajang produk UMKM bikinan Dolly. “Kalau rumah ini dibeli, kami punya akses ke gang lebar. Mobil bisa masuk,” ujar Nasih sambil menunjuk beberapa eks wisma di belakang Masjid. Gang IV B yang ditempati JeHa memang sempit. Banyak sepeda motor terparkir di depan rumah. Mobil tak mungkin bisa masuk. Nasih yakin, suatu saat nanti JeHa pasti bisa membeli semua eks wisma di sekitar pesantren. Itu termasuk perencanaan jangka panjang yang diimpikan para pendiri dan pengurus. JeHa harus punya lapangan olahraga, tempat parkir yang memadai, dan ruang terbuka untuk para santri. Agar rencana selanjutnya bisa dieksekusi, kini JeHa fokus pada pembangunan di tiga eks wisma yang sudah dibebaskan itu. Sebelum wisma dibebaskan, JeHa sempat bikin geger Surabaya pada akhir 2017. Muncul pesan berantai melalui WhatsApp: Pesantren Dolly dijual. Prostitusi masih ada. Tidak seperti yang digembar-gemborkan pemerintah. Pemkot memang sudah resmi menutup prostitusi sejak 2014. Namun, para mucikari dan pekerja seks komersial masih tinggal di Jarak-Dolly. Mereka masih berbisnis, kendati tidak terang-terangan. Jajaran pemkot di bawah kepemimpinan Risma tidak terima dengan pesan itu. Kabag Humas M. Fikser dan jajarannya langsung meluncur ke JeHa. Kisah itu kami bahas di Masjid JeHa pada Jumat (30/4). Masjid sudah bisa dipakai tempat berkumpul sesuai target. Lantainya sudah dikeramik. Selain Nasih, ada juga dua pendiri JeHa lainnya: Kiai M. Nu’man dan adiknya M. Rofi’uddin. Rofik mengatakan pemberitaan itu diviralkan oleh temannya dari Malang yang pakar IT. Hasilnya tidak terduga. Dalam sekejap JeHa jadi pusat perhatian. Banyak yang bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa pesantren Dolly dijual? Sampai pemkot pun ikut datang membawa rombongan media untuk meng-counter pesan berantai itu. Nasih dan Rofik menghadapi mereka kala itu. Tamu diterima di gedung pertama Pesantren JeHa, di ujung gang sambil duduk bersila. Nasih mengatakan bahwa istilah “Pesantren Dolly dijual” hanya kiasan. Mereka ingin mengajak masyarakat ikut berkontribusi dengan menyumbangkan dana untuk pelebaran kompleks ponpes. Waktu itu JeHa sudah membeli wisma yang paling tengah. Dibayar Rp 125 juta, masih kurang Rp 200 juta. Inilah objek yang sebenarnya dijual. Istilah 'menjual' diartikan sebagai wakaf amal shaleh. Pengurus masjid biasa melakukannya. Bahkan ada yang memakai kalimat “dijual kavling di Surga”. Semua itu sah dilakukan karena niatnya untuk menggaet donatur. Bagaimana dengan kabar prostitusi masih buka dalam pesan berantai itu? Dalam pemberitaan humas kabar itu dibantah. Pemkot telah menutup Dolly sejak 2014. Satpol PP rutin berkeliling kampung setiap malam. Tiba-tiba Kiai Nu’man menyahut. Ia mengakui bahwa prostitusi sudah diberangus dan menurun signifikan. Namun sisa-sisanya berkumpul di Putat Jaya Gang IV B yang menjadi pusat dakwah JeHa.”Kami hidup di sini tidak 24 jam. Tapi 25 jam. Artinya kami-lah yang paling tahu situasi,” ujar Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya itu. Nu’man mengajak pejabat pemkot jalan-jalan di atas pukul 22.00 setelah lebaran. Wanita penghibur akan kembali ke alamnya. Gambaran Jarak-Dolly terkini yang sesungguhnya akan nampak. “Pokoknya jangan pakai seragam,” lanjutnya. Meski begitu JeHa tetap mengambil hikmah atas kejadian itu. Counter berita dari pemkot justru semakin memperluas kabar tentang kondisi JeHa. Donatur berdatangan bak hujan deras setelah kemarau panjang. Kekurangan dana bisa terlunasi dalam sekejap. “Sampai teman yang kerja di Pullman Zam-Zam Mekah menghubungi kami,” kata Rofik. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler