Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) nyaris geger dengan pemilik wisma di Putat Jaya Gang IV B tiga tahun lalu. Pembangunan kanopi di depan pesantren dihalang-halangi sampai mandek enam bulan.
***
DAHULU, Lorong Putat Jaya Gang IV B dipenuhi dengan spanduk, papan reklame mini, hingga neon box bergambar minuman keras. Masing-masing terpasang di depan wisma yang berwujud tempat karaoke dewasa.
Puluhan atribut itu berjejer dari ujung ke ujung gang. Keberadaannya membedakan mana gang yang menyediakan prostitusi dan mana yang bukan. Di mana ada simbol miras, di situ ada pekerja seks komersial (PSK).
Pemkot Surabaya lebih dulu memberangus semua atribut itu di Gang Dolly dan Putat Jaya Gang Lebar pada 2014. Dua poros prostitusi paling mencolok itu disterilkan.
Pemilik usaha prostitusi di Putat Jaya IV B ikut-ikutan membersihkan atributnya. Namun tak lama setelah penutupan, mereka kembali memasangnya. Pengurus JeHa masih menyimpan dokumentasi kondisi santri yang berkeliaran di tengah atribut itu.
Prostitusi berjalan lagi meski tidak terang-terangan seperti dulu. Pesantren JeHa yang nyaris menang melawan prostitusi dengan bantuan pemkot harus memasuki ronde selanjutnya.
Pemilik usaha yang terusir dari tempat asalnya pindah ke gang IV B. Lokalisasi tetap ada, tapi dalam bentuk mini. Dan, jumlah rumah tangga kalah banyak dibanding wisma prostitusi di gang itu. Warga selalu kalah jumlah saat voting melawan pemilik wisma. Jika kondisi terus begitu, maka prostitusi akan tetap ada.
JeHa tak pernah mengambil langkah frontal dalam dakwah. Mereka juga kalah jumlah.
Pendiri JeHa Kiai Mohammad Nu’man mengatakan, dakwah harus pakai strategi. Jika lingkungan yang didakwahi masih keras, maka JeHa tidak boleh mengambil sikap yang sama. ”Kalau masih keras kita kendurkan, kalau mulai kendur kita yang keras. Semua ada saatnya,” ujarnya saat ditemui di lokasi pembangunan masjid JeHa, Jumat (30/4/2021).
Sikap Jeha diuji tiga tahun lalu. Pemilik wisma mulai melawan kehadiran pesantren yang santrinya makin berkembang. Yang awalnya cuma 30 anak bisa membeludak jadi 225 santri.
JeHa juga dianggap bikin gara-gara saat membangun kanopi di depan pesantren. Selama ini pemilik wisma merasa sudah banyak menoleransi JeHa yang membuka TPQ di tengah-tengah kawasan prostitusi.
Paling-paling mereka terganggu dari sore hingga isya. Selepas itu pesantren kosong. Hiburan malam jalan lagi.
Kanopi pesantren dianggap sebagai ancaman. Wujud pesantren yang selama ini menjorok ke dalam kini akan semakin terkesan mencolok.
Pendiri JeHa yang masih muda M Rofi’uddin dan M. Nasih tak takut dengan intimidasi. Mereka merasa sudah siap tempur. Pokoknya kanopi harus tetap terbangun. (*)