Dari Belgia ke Mana
PERNAH ada heboh kecil dua bulan lalu. Saya menahan diri untuk ikut nimbrung. Biarlah emosi turun dulu: BUMN akan membeli peternakan sapi di Belgia. Itu untuk mengatasi kekurangan daging di dalam negeri.
Rupanya memang ada pemikiran itu. Hanya saja, tentu, maksudnya tidak di Belgia. Kalau pun ada peternakan besar di sana apakah bisa dibeli. Lalu, apakah fisibel –terutama karena jaraknya.
Pemikiran membeli peternakan di luar negeri itu sendiri sangat baik. Terutama setelah berbagai upaya di dalam negeri tidak kunjung berhasil. Di pemerintahan siapa saja. Pun di pemerintahan kedua Pak Jokowi ini.
Selalu saja impor daging tidak pernah bisa ditekan. Dan selalu pula harga daging jadi isu politik. Tak ada bedanya dengan harga cabai, bawang, kedelai, jagung, dan apa saja.
Persoalan dasarnya adalah:
- Biaya memelihara sapi di dalam negeri sudah terlalu mahal.
- Terutama akibat harga pakan yang mahal.
Upaya apa pun tidak akan berhasil kalau tidak bisa menjawab dua masalah dasar itu. Menteri pertanian sejago apa pun tidak akan sukses kalau tidak bisa mencari jalan keluar dua persoalan dasar itu. Seminar berapa ribu kali pun akan mentok di dua persoalan itu.
Untuk membuat harga daging di bawah Rp 100.000/Kg harga pedet (sapi remaja) harus Rp 4 juta. Maksimal.
Tapi dengan harga pedet seperti sekarang –sekitar Rp 6 juta– tidak mungkin harga daging bisa di bawah Rp 120.000/Kg. Pedet itu masih harus dibesarkan menjadi sapi. Perlu waktu dua tahun. Perlu membeli makanan selama dua tahun.
Dengan harga pakan semahal sekarang, Anda bisa hitung sendiri biaya makannya selama dua tahun.
Persoalan membesarkan pedet adalah persoalan harga pakan.
Tidak terlalu rumit.
Tapi, membuat pedet, adalah persoalan yang lebih rumit.
Dengan menstrukturkan masalah menjadi dua persoalan itu setidaknya memudahkan mencari jalan keluar.
Membeli peternakan di luar negeri haruslah dimaksudkan hanya untuk mengatasi persoalan kedua: agar bisa memproduksi pedet dengan biaya lebih murah.
Sumber: