PPKM da Lopez
Ternyata wabah itu akhirnya masuk Indonesia. Padahal kita telanjur pede Covid tidak akan bisa masuk Indonesia. Kita menganggapnya remeh. Pun dr Terawan Putranto yang menjabat menteri kesehatan saat itu. Pun saya sendiri begitu.
Tapi begitu Covid kian marak, saya langsung menganggapnya bahaya. Begitu juga umumnya para dokter. Maka beberapa orang pun mengusulkan lockdown. Termasuk saya.
Waktu itu kita masih punya uang. Rp 400 triliun memang besar tapi kita punya. Setidaknya masih mudah mencari pinjaman.
Tapi angka Rp 400 triliun tersebut, saya akui, memang mengerikan.
Maka saya tidak ngomel ketika kita tidak melakukan lockdown. Apalagi masyarakat menyambut hangat putusan pemerintah saat itu. Pemerintah dipuji sebagai mampu memahami perasaan rakyat.
Belakangan, bahkan, mulai ada yang berbangga: strategi kitalah yang benar. Saya pun sempat mengakui bahwa kita memang hebat.
Tentu kini tidak ada lagi yang berani mengatakan strategi kita yang benar. Angka penderita Covid kita 54.000 di satu hari. Senin lalu –diumumkan Selasa. Brazil, yang sudah beberapa hari lebih baik dari kita, hari itu 57.000.
Tentu sekarang saya tidak ikut setuju kalau ada yang mengusulkan lockdown. Situasi sudah berubah. Orang sudah lelah –yang pro maupun yang kontra pemerintah. Uang juga sudah menipis –untuk tidak bilang sudah kering.
Ternyata biaya mengatasi Covid kita, sampai minggu lalu, sudah mencapai Rp 1.050 triliun. Anehnya angka itu tidak terasa mengerikan. Terutama bagi yang mendapat ceperan dari proyek itu.
Kini saya mendukung apa pun yang akan dilakukan pemerintah. Hanya diterapkan PPKM pun saya dukung. Pun jikalau PPKM hanya dilakukan seadanya, misalnya 25 persen dari seharusnya.
Demikian juga, misalkan, bulan depan PPKM diakhiri. Lalu dimunculkan istilah yang baru lagi. Saya pun tidak akan mengeluh. Saya menyadari: mengeluh dan resah hanya merugikan diri sendiri.
Saya masih cukup terhibur melihat banyak baliho Mbak Puan di berbagai sudut kota Surabaya. Pertanda Mbak Puan tidak sedang ghosting seperti yang digunjingkan di medsos.
Konsultan baliho itu cukup cerdas. Setidaknya bisa memahami perasaan rakyat. Tidak banyak kata di situ. Tidak banyak ajakan. Tidak banyak slogan politik. "Jaga Iman dan jaga Imun". Hanya itu yang diserukan. Tidak terlihat ada maksud agar ratingnya sebagai calon presiden sedikit lebih baik dari angka sepatu anak balita.
Tentu sang konsultan tahu: rakyat lagi muak politik. Pun di Malaysia. Di sana video yang menjerit dan memaki politisi sangat viral.
Di sini sikap anti politik itu cukup diwakili film musikal berjudul DPR –meski orang seperti saya sebenarnya sangat menunggu Iwan Fals atau Slank.
Sumber: