Keliling Dunia di Madiun
Happy Wednesday 202
SAYA sempat punya pengakuan kepada Wali Kota Madiun, Pak Maidi, ketika bertemu beliau. Keluarga Abah saya berasal dari kawasan itu, tapi saya sangat jarang menyebutnya.
Kalau pun sering ke sana, biasanya hanya cepat-cepatan. Kalau ada meeting ya datang lalu langsung pulang ke Surabaya. Kalau pun latihan gowes endurance, ya hanya mampir sekelebat. Makan lalu langsung gowes balik Surabaya (total 320-an km). Atau, makan sejenak lalu langsung lanjut naik ke Sarangan (total 200 km).
Dulu, kalau gowes ke Madiun, paling hanya foto di depan kereta api kecil di pintu masuk kota. Itu saja. Untuk jadi "syarat" bahwa sudah sampai di Madiun.
Itu dulu. Dalam dua tahun terakhir, saya mengakui ke beliau kalau diam-diam saya terkejut dengan perubahan drastis Madiun. Masuk kotanya langsung memberi kesan "wow." Jadi ingin berhenti-berhenti. Teman-teman saya juga ingin foto di sana-sini.
Trotoarnya lebar-lebar, rapi, bersih, dan rindang. Tempat-tempat duduk --lengkap dengan meja-- tersebar di berbagai penjuru kota. Orang bukan hanya bisa jalan-jalan nyaman, tapi juga duduk-duduk dengan asyik bersama teman atau keluarga.
Tempat duduk dan meja paling berkesan buat saya adalah yang terletak di Jalan Pahlawan, tepat di depan Balai Kota Madiun. Orang bisa duduk, berfoto, dengan latar belakang Balai Kota. Kalau naik sepeda, bisa sandarkan sepeda di meja, duduk, lalu berfoto di depan situ sebagai penanda sudah gowes sampai Madiun.
Waktu ngobrol di lokasi itu, saya sampaikan ke Pak Maidi, saya sangat menyukai filosofi tempat duduk dan meja itu. Karena itu memaksa gedung di latar belakangnya (Balai Kota) untuk selalu terlihat bagus. Karena kalau wibawa gedung itu hilang, maka fotonya akan "buruk" dengan sendirinya.
Pak Maidi lantas mengajak saya menyeberang jalan. Melihat kawasan "Galeri 6 Negara." Masih belum jadi, tapi akan segera jadi. Ada Patung Merlion ala Singapura di situ. Di depannya ada tangga turun, menuju sebuah "terowongan." Masih belum jadi, tapi akan ada tempat wisata menarik di bawah situ. Orang bisa naik perahu, atau jalan kaki, menuju bagian lain kota. Maaf, ke "negara lain" di tengah kota. Semua di "bawah tanah," di bawah jalanan dan bangunan di tengah kota.
Di seberang jalan ada replika Kabah, sedang dibangun replika Madinah. Di belakangnya, sedang dibangun replika Menara Eifel. Nantinya, akan ada enam negara yang terwakili di situ. Singapura, Arab Saudi, Prancis, Inggris, Belanda, dan --yang keenam dan terpenting-- Indonesia. Di sekelilingnya ada galeri UMKM, menjual produk-produk asli Madiun.
Biasanya, kalau membangun seperti ini, meleset sedikit saja bisa terkesan tidak keren. Pak Maidi tampak sangat berupaya agar itu tidak terjadi. Mantan guru geografi, beliau bilang selalu mengawasi sendiri, memastikan supaya segalanya sesuai ekspektasi.
Pak Maidi benar-benar ingin menyiapkan masa depan untuk Madiun, menjadikannya kota wisata unik. Dia ingin ada lima juta pengunjung setiap tahunnya ke Madiun. Dan yang saya suka, beliau tidak muluk-muluk dulu dalam mengincar wisatawannya.
Ada sebelas kota/kabupaten di sekitar Madiun, dengan populasi lebih dari sepuluh juta orang. Mereka itu dulu yang harus diutamakan untuk senang ke Madiun. Baru kemudian kota-kota besar yang sekarang dengan mudah bisa menjangkau Madiun. Berkat jalan tol, hanya butuh dua jam (atau kurang) dari Surabaya ke Madiun. Kalau dari Solo, tidak sampai satu jam. "Hanya 45 menit dari Solo," tegasnya.
Pak Maidi bilang, bagi warga sekitar yang belum punya paspor dan ingin merasakan ke luar negeri. Bisa mencicipinya di tengah kota Madiun!
Sumber: