Politik Ndeso

Politik Ndeso

Dalam melaksanakan birokrasi pemerintahan pun juga dilakukan dengan sederhana. Misalnya terhadap kekhawatiran akan maraknya peredaran miras (minuman keras), setelah kota berkembang. Para tokoh agama berkumpul bersama dengan para anggota dewan dan pelaku usaha hotel dan restoran. Hasilnya, miras dilarang. Tidak terlalu lama, terbitlah Perda (Peraturan Daerah) yang melarang peredaran miras.

Bila ada investasi hotel misalnya, tempat wisata atau yang lain, cukup berkomunikasi dengan warga setempat, berkumpul jagongan di balai desa. Kalau disetujui ya langsung bisa dibangun. Tetapi kalau warga tidak setuju karena dianggap mengganggu sumber mata air misalnya, maka diambil keputusan untuk ditolak, dan nanti Pemkot juga akan menolak. Ada contoh kasus pembangunan sebuah hotel, yaitu Hotel de Raja, yang saya tolak karena sebelumnya telah ditolak oleh warga, dulu pada periode pertama.

Hubungan saya dengan para pimpinan Parpol di Kota Wisata Batu sangat gayeng, penuh dengan persahabatan, seduluran, dan tidak perlu akrobatik seperti di daerah lain. Mengapa? Karena ibarat sebuah kolam, Kota Batu itu kolam yang kecil, tapi bersih, tidak keruh dan kotor.

Iya, saat ngobrol dengan para ketua Parpol, muncul gagasan bagaimana kalau warga dibebaskan membayar PBB (Pajak Bumi Bangunan), untuk mereka yang memiliki lahan pertanian dan rumah huni, tetapi kondisinya bisa disebut tidak mampu. Bahkan mereka itu diberi insentif tambahan hidup, agar lahan pertanian yang dimiliki tidak dijual lantas berubah fungsi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh pemerintah dari sektor pajak atau retribusi, bukan sebuah prestasi keberhasilan.

Ah! Politik Ndeso sederhana sekali, tidak perlu membuat kotoran dan membuang kotoran sembarangan. Ditata dengan rasa seduluran, ojo rumongso paling pinter, guyub!

Sahabat ER,
Semarang, 29 September 2023.

Sumber: