AMEG - Gonjang-ganjing menggoyang KPK. Ini memantik keprihatinan civitas akademika Fisip UMM. Diskusi Publik pun digelar. Bertajuk: Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum.
Humas UMM, Selasa (15/6/2021) menyampaikan. Diskusi publik yang dilakukan Kamis (10/6/2021) ini menghasilkan catatan penting. Lantaran menghadirkan sejumlah pakar di bidang hukum dan politik. Tokoh hukum Indonesia, juga mantan Wakil Ketua KPK, Dr Busyiro Muqoddas, menjadi salah satu dari empat pemateri dalam webinar kali ini.
Selain Dr Busyiro Muqoddas, Fisip juga menghadirkan Prof Azyumardi Azra M.A, cendekiawan muslim Indonesia dan Feri Amsari, SH MH LLM, aktivis hukum Indonesia yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas. Dari FISIP, Dr Rinikso Kartono M.Si berkesempatan menjadi pembicara sekaligus keynote speaker pada diskusi publik ini.
Rinikso Kartono, Dekan FISIP UMM memberi pengantar. Tindakan labelling pada calon anggota KPK yang tidak lolos TWK adalah perilaku yang tidak adil. Terjadi labelling terhadap pemberantas korupsi sebagai orang-orang tidak Pancasilais, namun para koruptor tidak diberi labelling negatif.
“Serangan balik dari koruptor yang terjadi juga mempengaruhi semua elemen di masyarakat. Instrumen kebaikan menjadi pudar dan instrument yang kuat belakangan ini adalah uang. Kita tidak usah heran jika lebih 300 orang termasuk kepala daerah masuk dalam bursa kepemimpinan,” ujar Rinikso.
Busyro Muqoddas mengatakan, ada korelasi timbal balik antara demokrasi dan korupsi. Di era presiden Jokowi, ada faktor determinan oligarki politik dan oligarki taipan terhadap produk politik. Terjadi penurunan indeks persepsi demokrasi pararel dengan turunnya tiga digit indeks prestasi korupsi di era Jokowi. Hal ini menjadi indikasi pembusukan demokrasi sekaligus makin naiknya tingkat korupsi.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia juga merupakan transaksi nasional yang memerlukan prasyarat. Pertama, adalah floating mass. Masyarakat diambangkan, dibuat terombang-ambing dalam ketidakjelasan terkait isu-isu korupsi, bisnis narkoba dan isu lainnya.
Berikutnya, pembunuhan KPK dan SDM menuju Pemilu 2024. Ini prasyarat bagi demokrasi transaksional. Selain itu intensitas represivitas keamanan seperti teror, hoaks radikalisme, isu intoleran dan gerilya buzzer adalah indikasi berikutnya.
Sementara itu, Feri Amsari menjelaskan, setiap tahun KPK diserang oleh koruptor. Hal ini merupakan indikasi sederhana yang positif karena berarti KPK masih berada di jalurnya. Ia juga membahas ketidakjelasan posisi KPK, mengingat Indonesia hanya ada tiga jenis lembaga. Di antaranya eksekutif, yudikatif dan legislatif. Menurut Feri Amsari, upaya pengubahan Undang-Undang (UU) KPK baru terjadi di era Jokowi.
“Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jika ada perubahan UU KPK berlangsung dengan cepat, maka bisa dipastikan adanya keterlibatan presiden dalam perubahan tersebut secara serius,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Azumardi Azra menuturkan gonjang-ganing KPK menjadi salah satu pertanda buruk atau negative legacy dalam pemerintahan Jokowi. Seharusnya pada periode kedua, Jokowi bisa menguatkan positive legacy.
Menurutnya, kebebasan berekspresi semakin hilang belakangan ini. Selain itu terjadi sejumlah penangkapan beberapa tokoh yang vocal. Ia mengatakan jika presiden Jokowi ingin menguatkan demokrasi, salah satu jalannya yakni membebaskan orang-orang yang mengkiritik.
Dijelaskan guru besar peraih gelar commander of The Order of British Empire ini, Indonesia harus dibangun oleh kebebasan berekspresi, bebas menyampaikan kritik, bukan saja oleh orang-orang yang selalu setuju dengan pemerintah.
“Yang bisa kita lakukan adalah menyalakan harapan. Walaupun saya melihat tidak ada perubahan atau perbaikan pada KPK ini. Presiden Jokowi juga tidak merespon suara dari 75 guru besar yang mengkritisi kasus KPK. Saya juga tidak melihat KPK akan dipulihkan kekuatannya. Walaupun kondisinya pahit, ya biarkan saja. Sembari menunggu harapan baru pada tahun 2024,” tuturnya. (*)