Dari jalan tol ini juga bisa dimonitor: oh… itu kebun nanas milik Great Giant Pineapple. Yang begitu luas. Tidak habis-habisnya.
Oh… itu kebun tebu milik swasta itu. Yang dulu berperkara itu. Oh… itu perkebunan tebu milik PTPN 7. Oh… Itu kebun singkong untuk pabrik tapioka.
Ternyata tidak banyak perbaikan jalan di jalur Bandar Lampung–Palembang ini. Sampai dengan perbatasan Lampung-Sumsel, hanya ada empat perbaikan. Itu pun tidak berat. Beda dengan jalur Bakauheni-Bandar Lampung (Baca Disway Edisi: Ingat Tomy).
Kualitas jalannya pun juga cukup bagus. Lebih baik dari Palimanan–Batang (Jabar-Jateng). Rasanya hanya di sekitar jembatan sungai Mesuji –yang memisahkan dua provinsi itu– yang bergelombang. Sekitar 1 Km.
Begitu memasuki Sumsel beda sekali. Kanan-kiri jalan banyak terlihat rawa. Bahkan sampai pun mendekati Hollywood –sebutan keren orang di sana untuk kabupaten Kayu Agung.
Rawanya tetap bisa ditumbuhi tanaman liar.
Sebenarnya jalan tol itu bisa ditempuh 4 jam. Luar biasa. Dibanding 12 jam di masa lalu.
Tapi kami tidak buru-buru. Juga ada unsur sial (baca: missed management). Orang Lampung di dekat saya itu terlalu percaya diri: ini kan di kampung sendiri.
Mereka tenang saja ketika tanda bensin berubah ke warna kuning. "Saya tidak khawatir, 20 Km lagi ada rest area," katanya.
Padahal kami baru saja berhenti di rest area sebelumnya: untuk salat duhur jamak asar. Masjid Al Hikmah itu ramai sekali. Pertanda jalan tol ini sudah ramai.
"Kenapa tadi tidak sekalian isi bensin?" tanya saya.
"Di rest area berikutnya saja. Sekalian bisa mampir lagi". "Tapi lampu sudah kuning".
"Kalau begitu kita perbanyak doa," ujar Aca.
"Dengan doa bensin bisa bertambah?" tanya saya.
Belum lagi terjawab, terlihat tanda menggembirakan itu: rest area Km 272. Ada tanda pompa bensin di papan itu –berarti bisa isi BBM di situ.
"Horeeee…," teriak mereka hampir serentak.