Aturan baru (saat itu) menghapus 3.143 Peraturan Daerah mengenai perizinan dan retribusi yang dinilai menghambat investasi. Mengapa bisa sampai ribuan Peraturan Daerah? Karena mirip tagline iklan: Kalau bisa diperlambat, mengapa mesti dipercepat?
Bagi investor yang mau cepat, ada jalurnya sendiri. Bayar, bayar, bayar.
Dengan PTSP, proses perizinan yang semula berbulan-bulan, terpangkas jadi cuma tiga jam. Cukup dengan ditunggu tiga jam, semua perizinan investasi, beres.
Dengan PTSP, sepanjang Januari - Desember 2015, bisa diterbitkan 17.238 izin. Berikut, produk perizinan yang diberikan pada investor dalam layanan investasi 3 jam. Yakni:
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Akta Pendirian Perusahaan dan SK Pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Izin Memperkerjakan Tenaga Asing (IMTA), Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Angka Pengenal Importir Produsen (API-P), serta Nomor Induk Kepabeanan (NIK).
Pemangkasan liku-liku proses perizinan itu, sangat mempercepat proses investasi. Sekaligus sangat menyedihkan bagi birokrat yang semula sangat berkuasa untuk bertanya kepada calon investor: "Mau jalur cepat atau lambat?"
Investasi menentukan ekspor. Jika investasi kecil, penyerapan tenaga kerja juga jadi kecil, produk ekspor juga otomatis kecil.
Jika ekspor kecil, sedangkan impor besar, negara jadi defisit. Artinya, Indonesia lebih banyak beli produk asing, daripada menjual produk dalam negeri ke luar negeri. Akibatnya, ekonomi jeblok.
Mundur lagi, 5 Maret 2018 dalam diskusi nasional di Jakarta bertajuk "500 Perusahaan Dongkrak Ekspor 500%", Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Benny Sutrisno mengurai penyebab barang produk Indonesia tidak kompetitif di pasar global. Tidak kompetitif jelasnya, tidak laku.
Benny Sutrisno: "Karena harga barang kita di pasar dunia, terlalu mahal. Kalah bersaing dengan barang produksi negara-negara lain, sehingga tidak laku."
Benny mengurai, penyebabnya ada dua: 1) Momentum. 2) Ekonomi biaya tinggi (high-cost economy).
Momentum, akibat ada diskriminasi aturan ekspor produk Indonesia ke negara-negara Eropa. Barang produk Vietnam masuk e sana nol persen, Indonesia dikenakan 7% sampai 12% tergantung jenis barang.
Akibatnya, barang produk kita jadi lebih tinggi dibanding Vietnam di pasar Eropa. Karena, pengusaha tidak mungkin mau merugi. Yakni, membebankan tarif bea masuk, ke harga barang.
Karena harga barang kita lebih mahal (untuk jenis barang yang sama) daripada produk Vietnam, maka barang kita tidak laku. Jadilah barang basi, kadaluarsa, out of date, ketinggalan dalam hal model, menumpuk. Bisa dikirim balik ke Indonesia dengan biaya tinggi. Atau dibuang ke laut.
Ekonomi biaya tinggi, antara lain, akibat pungli truk kontainer di pelabuhan. Karena sopir truk yang dipalak, tinggal minta ganti ke perusahaan pengirim. Sopir truk yang hidup sangat sederhana, tidak mungkin menanggung biaya palak.
Ketika perusahaan mengganti biaya palak kepada sopir truk pengirim barang, biaya itu dihitung sebagai biaya produksi barang. Alhasil, biaya produksi barang jadi tinggi. Harga jual di pasar dunia jadi ikut tinggi. Akibat akhirnya sama: Barang tidak laku. Mbuang.