Keesokan harinya, dengan taksi saya diajak untuk melihat kantor PBNU yang ternyata masih kontrak di daerah Menteng. Kantor milik sendiri di Jalan Kramat Raya masih dalam tahap pembangunan oleh kepengurusan Gus Dur.
Masuk kantor kontrakan, di dalamnya masih kosong. Belum ada AC, mebeler seperti meja kursi dan lain-lainnya. Masih kosong melompong. Pak Hasyim juga terkejut melihat kantornya. Lantas beliau menoleh ke arah saya dan saya menangkap dia berharap saya bisa menyelesaikannya.
Hari itu saya menelpon seorang teman di Surabaya, menceritakan kondisi kantor PBNU yang masih kosong melompong itu. Dia heran tetapi mengaku takjub bagaimana saya bisa mendampingi Ketua Umum PBNU itu. Tapi dengan senang hati dia mengatakan akan segera mengirim semua perabot yang dibutuhkan. Benar saja, dua hari kemudian barang-barang itu sudah datang.
Setelah tiga hari mendampingi Pak Hasyim di Jakarta, saya minta izin pada beliau untuk kembali ke Malang. Saya pun pulang. Pak Hasyim masih tinggal di Jakarta, dan tetap menginap di Hotel Marcopolo. Sebelum berangkat ke bandara, saya melihat Pak Hasyim sudah banyak menerima tamu di hotel. Saya tersenyum.
Setelah itu, karena kesibukan dan aktivitasnya, saya sudah tidak lagi merapat ke beliau. Tetapi saya tetap mengikuti informasi-informasi tentang beliau, termasuk ketika beliau berpasangan dengan Ketua Umum PDIP Ibu Megawati, menjadi pasangan capres/cawapres pada Pilpres 2004. Sampai akhirnya beliau wafat 16 Maret 2017 dalam usia 72 tahun. Alfatihah untuk beliau, yang membukakan bagi saya jalan untuk bertemu dengan banyak sekali kiai dan memberi saya banyak pelajaran tentang berorganisasi, tentang hidup dan tentang kehidupan. (*)
Sahabat ER, Semarang 25 Juni 2022.