Yang diperjuangkan sang rektor adalah batas usia maksimal menjadi rektor. Bukanlah biaya masuk mahasiswa mandiri. Jadi, atas perjuangan sang rektor, sebaiknya siapa pun tidak perlu berprasangka buruk. Kalau misalkan batas maksimal usia bisa diperjuangkan, maka aku perlu memperjuangkan batas maksimal seseorang dikatakan masih muda menjadi 70 tahun. Jadi, seseorang yang berusia 69 masih dikategorikan pemuda.
Fenny Wiyono
ada ungkapan guru terbaik adalah pengalaman, kl kurang pengalaman ya di tangkap KPK.. sekarang sdh dpt pengalaman di tangkap KPK semoga belajar lagi bagaimana berhenti melakukan korupsi atau mungkin belajar bagaimana lain kali tidak sampai ketangkap.
Rihlatul Ulfa
Mungkin dia kira KPK hanya gertak sambal. Mungkin dia berfikir taktiknya lebih hebat dari strategi KPK.
M Gathmir
Info dari teman2 SD yg masih tinggal di daerah Sumsel, praktek 'duit' untuk masuk Kedokteran Unila ini sdh lama, rata2 350jtan lolos dah. Banyak orang tua disana yg punya kebun sawit, karet (istilahnya toke) kepingin anaknya jadi dokter dan mereka mampu membayar sejumlah tsb, tanpa memikirkan apakah anaknya mampu atau tidak menjalani kuliah di kedokteran. Tapi di unila jarang terdengar mahasiswa kena DO. Pengalaman Sy yg punya anak di Kedokteran (UI), kuliahnya sangat berat dibanding jurusan lain dan anak Sy sering nangis2, menurutnya kuliahnya berat dan temannya pinter2 jadi preassure nya tinggi. FK UI tidak ada jalur Mandiri (jurusan lain ada), yg ada hanya jalur reguler dan internasional. Masuk jalur reguler melalui undangan (SNMPTN-nilai raport) dan Tes/SBMPTN (UTBK & SIMAK), sedangkan masuk jalur internasional/talent scouting hanya melalui undangan (nilai raport + to TEOFL min 550). Uang kuliah reguler hanya SPP (0 - 20jt/sem) tdk ada uang muka, utk Internasional uang muka 100jt & SPP 45jt/sem dan +/-800jtan utk 1thn di Monash/Melbourne atau Newcastle Univ.
Rihlatul Ulfa
Saat ikut SBMPTN dulu, saya ambil univ UI, UGM, dan UIN Jakarta. Ngambil Fakultas Hukum Lebih gak tau diri si waktu itu wkwk. Tapi pas ngeliat ketua BEM dan ketua Fakultas di salah satu univ itu di sebuah acara yg terkenal. Saat bagaimana mereka berbicara dari intonasi, tata bahasa, penekanan dalam kata2. Ekspresi saya adalah tertawa. Dari situ saya tidak menyesali tidak bisa menjadi bagian dari ke tiga univ favorit saya. Saya hanya perlu membuktikan saya bisa melebihi mereka, salah satunya jadi komentator di Disway.id hehehe Mudah2an tulisan saya hari ini lebih baik, bagaimana pak joko sp ? :)
Mbah Mars
Membangun karakter bangsa ehh hasilnya karakter bangsat
Mufid Arif
khusus kedokteran hrs nya tdk ada jalur mandiri. hrs test semua…krn di indo byk dokter salah analisa, salah kasih obat… salah… salah…
edi hartono
Pengalaman baru Disway: membaca artikel sambil diperlihatkan gigi orang. Bayangkan rasanya: lagi asyik membaca lalu disamping kiri hp/laptop anda ada orang yg membuka mulut lebar2 memperlihatkan giginya. Rasanya memang beda, wkwk Paragraf terakhir isinya agak kurang mulus dicerna logika pikiran: "Orang tua saat ini begitu takut anaknya tidak pandai. Oleh karena itu sekolah mahal pun dikejar" Apakah orang tua benar2 takut anaknya tidak pandai? Ataukah mereka takut anaknya tdk dapat pekerjaan yg prestise? Karena tdk pandai diketahui sejak SD dan bisa diperbaiki sejak dini. Yg dikhawatirkan mungkin bukan kepandaian, tetapi pekerjaan dan, kembali lagi: UANG! Dan, mungkin yg perlu lebih dipikir ulang adalah DAMPAK JALUR MANDIRI penerimaan mahasiswa. Dimana anak yg tidak lulus jalur prestasi dan tes akan bisa diterima asalkan orang tuanya membayar sejumlah uang. Bukankan praktik ini aneh dan berbahaya? Coba pikirkan mental mahasiswa seperti apa yg akan terbangun nantinya? Mental jika menginginkan sesuatu maka akan bisa dicapai asal bayar. Seperti banyak cerita: agar bisa masuk polisi maka harus membayar sekian ratus juta. Agar bisa naik pangkat maka harus setor sekian puluh juta. Bukankan ini pola pikir rusak yg menghasilkan mental bobrok. Maka ketika kasus sambo mengemuka, mungkin orang2 berpikir: wajar saja bobrok, mungkin dulu mereka masuknya pakai nyogok. Tes akademis, psikologis, dll hanya utk formalitas. Mungkin Mendikbud/Dikti perlu melakukan penelitian khusus tentang ini
agus rudi Purnomo