Dilanjut: "Emang, mereka suka ribut terus. Waktu itu kirain ribut biasa. Jadi saya nggak perhatiin. Pas kebakar, dia sadar. Saya langsung keluar, bilangin adik saya: Tolongin itu bawa ke rumah sakit."
Saksi Erna (39): "Mereka beranak empat. Yang gede umur 10, si bontot umur setahun. Waktu kejadian, tiga anak di dalam rumah. Sebelum kejadian, mereka memang suka ribut tuh. Pernah, lakinya dilempar piring sama bini. Itu mungkin kesel."
Dilanjut: "Nah, pas malam itu lakinya luapin emosi ke anak. juga ke bini: Jangan main HP bae lo. Nanti gue bakar anak lo. Die ngomong gitu, si bini malah nantangin: Kalau berani, bakar gue." Terjadilah…
Kejadian biasa. Sangat sering terjadi di keluarga Indoneisa. Khususnya warga kelas sosial bawah. Juga kelas menengah-bawah. Kelas sosial menyangkut ekonomi dan tingkat pendidikan.
Kriminolog merunut perilaku destruktif orang dewasa, terkait pengasuhan dan aneka peristiwa di masa kanak-kanak. Di kasus Depok, tiga anak menyaksikan kekejaman ortu.
Profesor David Philip Farrington dalam bukunya, "Predicting Adult Official and Self-reported Violence" (Cambridge University Press; 2001) menyebutkan:
"Kejahatan orang dewasa, terkait erat masa kecil mereka. Masa kanak-kanak adalah masa penting setiap manusia. Penelitian menunjukkan, bahwa agresi di masa kanak-kanak adalah prediktor kuat kejahatan dan kekerasan orang dewasa."
Prof Farrington adalah kriminolog Inggris. Ia profesor emeritus bidang studi psikolog forensik di University of Cambridge, Inggris. Ia kini menghabiskan masa tua di London.
Di kalimat pada bukunya itu, dijelaskan begini: Agresi di masa kanak-kanak, bisa berarti: Perilaku agresi anak terhadap temannya. Atau anak melihat perilaku agresi orang lain terhadap orang lain.
Kalimat selanjutnya: 'adalah prediktor kuat kejahatan dan kekerasan orang dewasa'. Dijabarkan: Anak yang melakukan, atau melihat agresi, bisa menjadi agresor berbentuk perbuatan jahat atau kekerasan terhadap orang lain.
Perilaku jahat atau tindak kekerasan orang dewasa, terkait masa lalu mereka, dikaitkan juga dengan Socio Economic Status (SES) orang bersangkutan. Semakin rendah tingkat SES orang di masa kecil, semakin sering mereka melihat atau mengalami kekerasan. Begitu juga sebaliknya.
Prof Farrington tidak merinci, mengapa orang miskin ekonomi dan rendah tingkat pendidikan (SES rendah) lebih sering bertengkar, dibanding SES tinggi.
Barangkali, pembaca teori Farrington disuruh menafsirkan sendiri. Bahwa keluarga yang selalu kesulitan uang untuk menafkahi keluarga, otomatis sering pusing. Kalau sudah pusing, segalanya jadi serba gelap.
Sehingga persoalan menonton YouTube, yang bagi orang dengan SES tinggi adalah hiburan, bagi SES rendah bisa jadi malapetaka. Bahkan tragedi.
SES rendah berpondasi pada miskin ekonomi. Keluarga dengan miskin ekonomi, otomatis sulit membayar sekolah anak-anak mereka. Jadilah kelengkapan SES rendah: Miskin harta, miskin ilmu.
Pantas saja, kejadian-kejadian sepele dalam rumah tangga di Indonesia, bisa meletus seperti kasus di Depok itu. Terjadi di mana-mana. Bermula dari sepele-sepele.