SAYA masih teringat peristiwa yang terjadi pada suatu malam, 35 tahun yang lalu saat saya berusia sekitar 27 tahun, di ruang tamu rumah kami, ketika kedatangan seorang tamu, Pak Acub Zainal. Dia adalah sahabat Ebes, yang malam itu datang bersilaturahmi ke rumah.
Keduanya kini almarhum, sama-sama pernah bertugas di Papua. Pak Acub jadi Gubernur Irian Barat (sekarang Papua) periode 1973-1975, sedang Ebes Soegiyono jadi Wakil Gubernur 1983-1987. Keduanya ngobrol berbagai hal, tapi yang saya ingat, Pak Acub kemudian berkata, "Gi (Soegiyono) ayo kita bikin klub sepak bola."
Saya masih ingat, kalimat ajakan itu dikatakan Pak Acub dengan suara yang tegas. Diksi seorang tentara, yang saya simpulkan mengandung perintah. Keduanya memang prajurit, yang sama-sama berjuang menjelang Kemerdekaan RI tahun 1945 . Pak Acub Zainal adalah seorang jendral, meskipun perawakannya kecil, tetapi nampak gesit. Pak Acub pernah jadi Pangdam Cendrawasih, sedang Ebes terbilang yuniornya.
Hingga larut malam keduanya berbincang, yang pada akhirnya fokus pada rencana pendirian klub sepak bola di Kota Malang. Hasil pembicaraan malam itu kemudian terus dikembangkan, dan beberapa waktu kemudian, pada tahun itu juga, yaitu 1987, berdirilah sebuah kub sepak bola bernama Arema.
Ebes dan Pak Acub sama-sama tinggal dan memiliki rumah di Malang. Pak Acub di Jalan Letjen Sutoyo sedang rumah Ebes di Jalan Diponegoro. Keduanya sama-sama pernah berdinas cukup lama di Kota Surabaya. Karena itu sebenarnya keduanya sangat mencintai, bahkan menjadi fans Persebaya yang sudah berdiri sejak tahun 1927. Bahkan berdirinya Arema sebenarnya terinspirasi dari Persebaya. Bagi keduanya, yang saya tahu, Persebaya bukan lawan melainkan kakak kandung Arema. Arema adalah klub yang didirikan oleh suporter Persebaya.
Karena itu saya yang sedikit banyak tahu bagaimana proses berdirinya Arema, sangat tidak setuju apabila ada yang menyebut Persebaya dan Arema adalah musuh bebuyutan. Terlalu naif sebutan itu, dan sama sekali tidak benar. Yang betul, menurut saya Persebaya dan Arema adalah kakak beradik, yang usianya terpaut 60 tahun.
Saya pikir, media massa juga harus ikut bertanggung jawab, karena sudah sejak lama menambahkan istilah ‘musuh bebuyutan’ apabila memberitakan atau menganalisa pertandingan antara Persebaya vs Arema. Hal itu diakukan sejak lama. Istilah itu makin lama makin mengkristal di benak kedua suporter, dan secara psikologis akhirnya mempengaruhi sikap mereka.
Sekadar ilustrasi. Di Jakarta, terutama di dunia jalanan di kawasan Blok M, ada sebutan Arek untuk pemuda-pemuda perantau baik dari Malang maupun dari Surabaya. Anak-anak muda dari kedua kota ini dipanggil Arek, bukan Arek Malang atau Arek Suroboyo. Arek Suroboyo dengan Arek Ngalam menyatu dalam satu identitas ‘Arek’, untuk mencari rezeki di kawasan Blok M. Tidak ada perbedaan antara perantau dari Surabaya dan dari Malang, mereka saling membantu sebagai Arek, bukan sebagai Aremania atau Bonek.
Ebes, saat menjadi Walikota Malang (1973-1983) sempat merenovasi Stadion Gajayana, di pusat Kota Malang. Pada saat Arema bertanding sebagai tuan rumah di Gajayana, saya selalu menonton dengan mengajak keluarga lengkap, istri dan anak pertama laki-laki yang usia 4 tahun, bahkan adik perempuannya yang masih bayi. Di stadion, saya sekeluarga kemudian bergabung bersama Sam Ikul atau Lucky Acub, putra bungsu Pak Acub Zainal yang juga membawa keluarga termasuk putranya yang seusia dengan anak sulung saya.
Di stadion kami juga bertemu teman-teman lain yang juga membawa keluarga masing-masing. Nonton Arema bertanding, melawan klub manapun, bagi kami adalah rekreasi keluarga, bersenang-senang dan silaturahmi. Demikian juga para suporter lain.
Saya masih ingat, dalam suatu pertandingan Arema, Pak Acub Zainal duduk di tribun, sementara Ebes duduk di bangku pemain dengan Sam Ikul sebagai manager klub. Ebes waktu itu membawa 4 pemain dari Papua, jebolan pemain PON dan Persipura, untuk melengkapi pemain Arema. Ketika itu, klub kebanggan Kota Malang ini adalah klub yang paling ditakuti oleh lawan-lawannya di liga sepak bola profesional Indonesia, di bawah manager sekaligus owner Arema, Sam Ikul atau Lucky Acub Zaenal.
Sebagai penonton setia Arema, kami membaur dengan suporter lainnya dalam fanatisme sebagai Aremania. Semua bernyanyi bersama sebagai penyemangat para pemain. Semua rampak menari di tempat masing-masing, tanpa bergeser, yang menjadi ciri khas Aremania, dalam membentuk salam satu jiwa.
Suasana seduluran sangat kental terasa. Bagi yang tidak punya uang untuk membeli tiket masuk, saling membantu bahu membahu untuk memanjat dinding stadion. Aparat kepolisian menjaga dengan longgar, karena tahu anak-anak yang memanjat dinding stadion itu tidak punya uang, dan mereka hanya ingin menonton sepak bola, bukan yang lain. Bahkan sekitar 20 menit menjelang bubaran, pintu stadion dibuka lebar-lebar sehingga orang-orang yang tidak dapat masuk stadion karena tidak punya tiket, bisa bebas masuk. Syaratnya, mereka memakai kaos kaos Arema sebagai identitas Aremania.
Bertahun-tahun Stadion Gajayana menjadi kandang Arema, yang kemudian menjadi sejarah Aremania. Ciri khas stadion ini juga lama melekat, yaitu tabuhan genderang dan tarian rampak, termasuk makian-makian khas Arek, apabila wasitnya mereka nilai tidak netral dan dianggap merugikan para Arema. Makian adalah hal yang biasa, tidak perlu direaksi oleh penonton lainnya, apalagi direspon oleh pihak keamanan secara berlebihan.
Arema adalah kebanggan warga Kota Malang Raya. Saat menjadi juara, semua warga berpesta pora. Tetapi saya yang melihat dengan mata kepala sendiri, merasa terharu ketika pada akhirnya saya menyaksikan manajemen Arema benar-benar sudah kehabisan dana. Di situlah saya manaruh hormat dan simpati kepada almarhum Sam Ikul, ketika dia tetap berjuang untuk mempertahankan agar Arema tetap berkembang dan meraih prestasi, sementara pemasukan dari sponsor dan hasil penjualan tiket masuk sama sekali tidak memadai. Akhirnya, dia terpaksa harus menjual rumah peninggalan Pak Acub Zainal di Jalan Letjen Sutoyo, yang sekarang jadi kantor sebuah bank BUMN.