Dikutip dari jurnal ilmiah AS, Journal of Adolescence, November 2018, lima pakar psikolog AS melakukan riset besar-besaran soal ini. Judulnya,
"When will adolescents tell someone about dating violence victimization? Violence Against Women?".
Tim periset: Beverly M. Black dan Arlene N. Weisz (Wayne State University, AS). Richard Tolman, Michelle R. Callahan, Daniel George Saunders (Univrsity of Michigan, AS).
Mereka meriset data mayat wanita korban pembunuhan. Data diambil dari The National Violent Death Reporting System (NVDRS). Mewakili 32 negara bagian di AS (di sana ada 50 negara bagian, plus Washington DC). Kurun waktu kematian wanita 2003 sampai 2016.
NVDRS mencatat lengkap data wanita korban pembunuhan. Data pembunuh. Termasuk kronologi dan motif mereka dibunuh.
Setiap mayat disertai 2 jenis data kualitatif: Laporan koroner medis dan catatan penegakan hukum polisi. Data medis menyangkut otopsi. Data polisi hasil wawancara polisi dengan pihak-pihak terkait kematian korban.
Sehingga tim periset tidak perlu minta izin keluarga korban, toh identitas mayat tidak disebut. Periset cukup minta data ke NVDRS. Sudah lengkap.
Tidak semua mayat wanita korban pembunuhan dijadikan sampel periset. Dibatasi tiga jenis berikut ini:
1) Korban berusia antara 11 dan 24 tahun.
2) Hubungan antara korban dan pelaku diketahui.
3) Cara mati diklasifikasikan NVDRS sebagai pembunuhan (berdasarkan klasifikasi internasional). Juga kode penyakit disertakan pihak medis.
Dari data itu, periset cuma memilih sampel wanita korban pembunuhan di usia remaja sampai dewasa muda.
Terkumpul ratusan sampel. Mayoritas mayat wanita itu dibunuh oleh pasangan dengan latar belakang cinta asmara. Tapi, hampir tidak ada yang motifnya menuntut tanggung jawab (minta dinikahi) seperti kasus di Jember. Sebab, di sana pria-wanita hidup bersama tidak harus nikah.
Motif kebanyakan selingkuh, bisa pihak pria atau wanita. Disusul soal uang, bisa sejenis pemorotan atau penipuan. Disusul lagi soal ngamuk akibat diputus pacar (penyebab putus cinta beragam).
Diurai, masa remaja adalah masa emosionalitas tertinggi sepanjang hidup manusia. Sedangkan, pengalaman hidup masih rendah. Maka, ketika remaja menjalin percintaan (heteroseksual) bisa meledak-ledak. Baik saat gembira maupun marah.
Ketika marah meledak, hubungan pasangan bisa berakhir jadi pembunuhan. Tim periset membedakan kejahatan kekerasan dalam percintaan romantis jadi dua hal: Intimate Partner Violence (IPV) atau cinta berakhir kekerasan, dan Intimate Partner Homicide (IPH) percintaan berakhir pembunuhan.