Arab Yahudi

Sabtu 11-03-2023,05:30 WIB
Reporter : sukma ameg
Editor : sukma ameg

Angka itu pun masih ok. Daripada 1000.

Maka saya sampai ke deretan mobil.

"200 real," jawab pemilik taksi gelap itu. Yang terang tidak ada di situ.

Itu pun masih ok. Daripada 1000.

Saya pun masuk mobil. Toyota entah jenis apa. Agak tua. Kotak di dashboard-nya sudah dibalut lakban.

Begitu saya masuk mobil, ia memejamkan mata sejenak. "300 riyal," katanya. Usianya sudah sekitar 65 tahun. Garis wajahnya berkerut keras dan terlihat lebih tua. Ia pakai baju putih panjang khas Arab. Di kepalanya sorban mengigal lusuh.

Ok. Setua itu masih mencari rejeki di jalanan. Itu belum sampai sepertiga bayangan 1000.

Mobil pun dijalankan. Lalu masuk stasiun pompa bensin. Dari lirikannya saya paham: harus bayar. Saya pikir bayar 100 dulu. Yang penting bensin terisi. Ternyata ia minta lunas.

Langsung saya lunasi. Untuk apa baku kata. Andai ditipu pun hanya 300 riyal. Bukan 1000.

Dengan uang itu ia pun isi bensin. Saya buang amoniak. Lega. Tadi pagi terlalu banyak minum. Begitulah kebiasaan saya bangun tidur: minum air hangat setengah liter. Lalu minum obat. Lalu melaksanakan ritual pagi. Setelah itu minum lagi setengah liter. Olahraga.

Pagi ini olahraga saya jalan kaki ke terminal 30 menit.

Selesai buang amoniak ia sudah tidak terlihat di pompa bensin lagi. Saya jelalatan sapu pandang ke sekitar: oh ia di sana. Di depan bengkel. Kap mobilnya lagi dibuka. Ia terlihat mengutak-atik mesin. Lalu ambil selang udara. Ia semprot semua bagian mesin. Debu berterbangan. Mesin pun bersih. Sebagian debu pindah ke pakaiannya. Ia semprot pakaian itu dengan selang udara. Sebagian pindah ke pakaian saya. Ia semprot pakaian saya. Sambil tertawa. Giginya kelihatan kuat, menghitam. Gerahamnya mengeras.

Kami pun siap keluar kota. Ia minta saya membuat video gedung-gedung tinggi yang baru. Saya video juga wajahnya. Ia tertawa senang. Ia suka saya ambil video wajahnya. Saya suka memvideonya dengan alasan lain: kalau ada apa-apa punya rekam jejak seperti apa orangnya.

Ia menoleh terus ke pinggir jalan. Setiap terlihat ada orang jalan kaki mobil ia pelankan. Kaca dibuka. "Sharma! Sharma!“.

Oh, ia cari tambahan penumpang. Saya tidak mempersoalkannya. Dua kursi di belakang kosong. Tidak satu pun yang ke jurusan Sharma.

Mobil belok kanan. Lalu belok kanan dua kali lagi. Lho ini kan terminal tadi. Ia turun dari mobil. Semua orang ia tawari apakah mau ke Sharma.

Tags :
Kategori :

Terkait