Disertasi itu diterbitkan sebagai buku pertama kali berjudul: “The Religion of Java” (Free Press, New York, 1964). Akhirnya dicetak ulang 2013 dengan judul bahasa Indonesia seperti di atas.
Buku Geertz bukan soal pembunuhan. Tidak terkait kriminologi. Tapi, di buku itu Geertz meriset, menganalisis secara mendalam dan detil tentang budaya masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur. Karena Geertz juga mewawancarai masyarakat di luar Mojokerto.
Buku itu top. Sampai, Journal of Social Issues in Southeast Asia 2021 menyatakannya sebagai “The Most Influential Books of Southeast Asian Studies”.
Dari penelitian empiris dengan kombinasi analisis dan spekulasi yang jarang digunakan untuk memahami arti makna Jawa dan kebudayaannya, Geertz pun dijuluki penemu ilmu pengetahuan baru: Antropologi Spekulatif.
Apa intinya? Menurut Geertz, di Mojokerto (waktu itu) terjadi benturan budaya, antara Hinduisme, Islam dan animisme. Berbaur dalam satu sistem sosial. Ia sebut: “Abangan, Santri, Priyayi”. Lebur jadi satu. Tidak terjadi konflik di antara masing-masing kelompok sosial itu. Mereka rukun.
Kelompok masyarakat Abangan itulah mewakili Hinduisme warisan Kerajaan Majapahit (berpusat di Mojokerto) dan animisme yang asli Jawa, sebelum ada Kerajaan Majapahit.
Di kelompok Abangan inilah budaya perdukunan hidup. Kata Geertz: “Sampai kapan pun… Karena itulah akar budaya.”
Riset Geertz 71 tahun silam, ternyata masih relevan sampai sekarang. Dijalani generasi Z (kelahiran 1997-2012) tersangka Irfan, yang dukun. Dan, tersangka Supaino, bekas pemilik aji pesugihan Ratu Pantai Selatan.
Tapi, pembunuhan Sinta rasional. Efektif. Tidak menggunakan senjata tajam atau senjata api, yang bisa menimbulkan kegaduhan di kamar kos yang padat penduduk itu. Cuma, pembunuh tidak memperhitungkan bahwa wanita keracunan bisa gaduh juga. Seperti itu.
Anehnya, mengapa para pelaku tidak menggunakan cara mistis dalam pembunuhan? Mungkin mereka sudah tidak yakin efektivitasnya. Berarti masyarakat dalam transisi dari tradisional irrasional, menuju modern rasional. (*)