Menurut Lewin, gaya itu dapat bekerja dengan baik. Memungkinkan pemimpin membuat keputusan cepat. Memberikan instruksi langsung kepada tentara.
Dalam studi Lewin, anggota kelompok di bawah kepemimpinan otoriter umumnya produktif. Tapi tidak kreatif. Tengok saja di televisi, jenderal Korea Utara selalu manggut-manggut jika ditanya Jong-un. Artinya: Beres... Bos.
Di AS, Presiden Lyndon Johnson, contoh pemimpin otoriter. Di Kongres, Johnson bergaya agresif. Punya kemampuan luar biasa untuk meloloskan undang-undang.
Ketika seorang senator menyindir: "Roma tidak dibangun dalam sehari, maka yang lain akan menjawab: Lyndon Johnson bukan mandor dalam pekerjaan itu."
Kepemimpinan demokratis. Anda juga sudah tahu bentuknya. Pemimpin model itu selalu menyeimbangkan tanggung jawab pengambilan keputusan antara kelompok dan pemimpin.
Para pemimpin demokrasi secara aktif berpartisipasi dalam diskusi. Sekaligus juga mendengarkan pandangan orang lain.
Gaya itu sering kali mengarah pada lingkungan kerja yang positif, inklusif, dan kolaboratif. Lebih dari itu, pemimpin demokrasi yang baik dapat memunculkan kreativitas kelompok.
Dengan gaya itu, pemimpin tetap memegang tanggung jawab akhir atas keputusan kelompok. Dalam studi Lewin, anggota kelmpok di bawah kepemimpinan demokratis, berkualitas tertinggi. Dengan satu syarat: Anggota kelompok memang kompeten berdemokrasi.
Jenderal Dwight Eisenhower dan Nelson Mandela adalah contoh pemimpin demokrasi yang sukses.
Selama Perang Dunia II, Jenderal Eisenhower (panggilannya Ike) diangkat sebagai Panglima Tertinggi Sekutu. Posisi itu punya otoritas yang tidak terbatas. Tapi, ia mempertahankan koalisi yang beragam.
Nelson Mandela, setelah dipenjara hampir tiga dekade, kemudian terpilih jadi Presiden Afrika Selatan (1994–1999). Ketika jadi presiden, ia malah mengisi stafnya dengan orang-orang kulit putih. Tindakannya itu semula dibenci warganya. Tapi, kemudian terbukti ampuh, menyatukan negara.
Presiden Jokowi, masuk yang mana? Anda pasti tahu jawabannya. (*)