AMEG - Rencana pembangunan pabrik biofuel oleh Pemerintah Pusat di Kabupaten Malang, menimbulkan beragam komentar. Pasalnya, rencana itu disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang, yang menyebut ada ribuan hektare lahan di Malang Selatan yang berpotensi ditanami sawit.
Di Kabupaten Malang sendiri, sebenarnya saat ini sudah ada beberapa hektare lahan yang ditanami sawit. Namun ternyata, hasilnya kurang menguntungkan. Bahkan cenderung berdampak negatif. Terutama pada lingkungan.
Hal itu disampaikan oleh Founder Lembaga Konservasi Sahabat Alam Indonesia (SAI), Andi Syaifudin. Berdasarkan catatannya, Malang Selatan memiliki pengalaman buruk terkait penanaman sawit.
"Tahun 2012, kita sudah dapat isu ada sawit di Malang Selatan dan di tahun 2015 kita temukan lahan sawit di daerah Gedangan, Nganteb, Tumpakrejo, Srigonco, Sumberbening, Bandungrejo bahkan sampai Modangan. Kalau kita mengobrol sama warga itu kan dikirim ke Blitar, awalnya warga diberikan bibit gratis dengan iming-iming harga bisa sampai Rp2.000,- sampai Rp2.500,- per kg," jelas Andi.
Namun sayangnya, rencana tersebut kurang diimbangi dengan sosialisasi terkait dampak lingkungan, yang bisa ditimbulkan dalam penanaman sawit. Alhasil, menurutnya saat itu sumber air di daerah Gedangan jadi menipis.
"Tapi mereka tidak pernah diberikan edukasi bahwa sawit ini memiliki dampak ekologis. Terbukti di warga saya di Gedangan, sumber airnya mulai berkurang ketika ada sawit di sekitarnya," terangnya.
Hal itu ternyata membuat warga yang sebelumnya sempat menanam sawit jadi menyesal. Dan mereka lebih memilih untuk merobohkannya dan mengganti dengan menan pohon buah-buahan lainnya.
"Di Malang Selatan mulai Tumpakrejo dan daerah sekitarnya itu, sudah banyak warga yang beralih dari tanaman sawit, karena keuntungan dan dampaknya tidak sebanding, terakhir harganya Rp800,- per kg," imbuhnya.
Menurutnya, wacana pendirian pabrik pengolahan sawit tersebut bisa saja langsung dilakukan, jika terus dibiarkan tanpa ada sosialisasi dan edukasi yang jelas.
"Makanya mulai dari isu dihembuskan ini, kita langsung melawan. Dasar kita protes sendiri karena kita melihat yang ada di luar pulau, dimana kita melihat secara langsung sawit itu seperti apa. Saya juga duku bekerja di alat berat di Kalimantan dan pulau-pulau yang lain. Jadi, kita tahu baik dan buruknya sawit itu, meskipun ada sawit yang sustainable tanpa harus merusak hutan," tegasnya.
Ditambah lagi, dari catatannya, hutan di Pulau Jawa juga sudah banyak yang terdegradasi. Hal juga menjadi satu alasan bahwa tanaman sawit sangat tidak sesuai jika ditanam di Malang Selatan.
"Tapi saat ini lari ke Jawa. Padahal di Jawa itu hutan kita itu sudah kritis karena terdegradasi. Banyak lahan-lahan beralih fungsi, dan jika ini ditambah sawit yang tidak ramah terhadap tanah maka dampaknya lebih banyak negatifnya. Sehingga kita akan menciptakan bencana ekologis yang baru di Jawa," ujarnya.
Apalagi, wilayah Malang Selatan juga menjadi daerah yang langganan kekeringan saat musim kemarau. Hal itu diprediksi bakal berdampak lebih parah jika sawit jadi ditanam. Mengingat tanaman sawit juga bersifat rakus air.
"Sedangkan Malang Selatan adalah kawasan karst, dimana kawasannya kebanyakan adalah tanah kapur. Dan jika ditambah sawit yang sifatnya rakus air maka akan menambah bencana ekologis baru bagi masyarakat Malang Selatan. Kalau dihitung-hitung mungkin untung, tapi dampak lingkungannya akan lebih tinggi dari keuntungan yang didapatkan. Jadi, yang kita bela itu sisi penguasanya atau sisi sosial-lingkungan itu sendiri," pungkasnya. (avi)