Dalam sebuah diskusi kebangsaan, muncul satu adagium, istilah atau pandangan yang coba memotret seorang akademisi dan politisi. Apa, gerangan? Akademisi itu, boleh salah tapi tidak boleh bohong!
Artinya, dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian pada masyarakat, ikhtiar menyuguhkan sesuatu yang bersifat ilmiah, walaupun belum tentu memenuhi unsur kebenaran tunggal atau mencapai derajat kebenaran yang sempurna, tidak boleh berbohong dalam menyajikan kerja akademisnya.
Bagaimana jika memiliki niat menyembunyikan kerja akademis alias berbohong? Saat itulah ia akan terjerembab dalam kubangan yang disebut melabrak nilai (value) moralitas insan cendekia. Integritas akademiknya rapuh!
Sejarah akan mencatatnya sebagai akademisi yang tak patut untuk dijadikan rujukan sebagai seorang cendekiawan.
Puncaknya, ia akan digolongkan sebagai akademisi yang layak menyandang status tuna integritas dimana ucapan, sikap, dan tindakannya tidak selaras dengan informasi, realitas sebenarnya, yang tak dibenarkan untuk ditutup-tutupi.
Sebaliknya, politisi itu, boleh bohong namun tidak boleh salah! Dalam ritual kampanye politik lima tahunan, Pemilu 2024, misalnya, tak sedikit politisi yang tak segan mengumbar janji politik muluk-muluk, bahkan tak jarang membual demi elektabilitas dan elektoral: tingkat dukungan, popularitas seseorang dan potensi keterpilihan figur dalam laga demokrasi.
Namun, ketika sudah duduk di kursi empuk kekuasaan, acapkali lupa atau melupakan komitmen politik yang pernah dilontarkannya pada waktu terdahulu, dan masyarakat tak bisa berbuat banyak selain sekadar bergumam dan menagih lirih serta memilih diam.
Sebaliknya, saat ia melakukan kesalahan yang dikualifikasi mendegradasi moralitas seorang politisi, berbuat sesuatu yang melanggar kesusilaan, misalnya, ia akan dicerca, dipersalahkan, bahkan dikutuk sedemikian rupa sampai tergerus integritas, dan nama baik yang disandangnya.