Menyeret Penonton ke Jurang Demensia

Menyeret Penonton ke Jurang Demensia

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

Untuk menyadari apa yang terjadi, kita tidak boleh mempercayai Anthony. Scene apa pun yang melibatkan dirinya, tidak dapat dipastikan kebenarannya. Ia tak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang halusinasi. Bahkan ketika ia bicara dengan dokter, pikiran bawah sadarnya mengalami delusi. 

Dan kalau penonton putus asa ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, maka Anthony lebih desperate lagi! Karena ia tidak bisa curhat ke siapa pun. Tidak akan ada yang memahami dirinya. Anne hanya akan makin panik, dan kembali membawanya ke dokter. Sementara Paul akan semakin membencinya. 

Desain Set Krusial

Jika tidak ingin terseret ke dalam alam pikiran Anthony, perhatikan desain set setiap adegan. Anthony selalu merasa dia ada di flatnya sendiri. Namun, Anne dan Paul selalu bilang bahwa ia tinggal di rumah mereka. Kuncinya ada di set. Tata letak kedua rumah sepertinya sama. Namun, jika kita perhatikan detailnya, jelas berbeda. 

Anthony bangun di kamar yang sama sekali berbeda. Ranjang dan spreinya jelas berbeda. Dinding dan pintunya juga tidak sama. Rumah Anthony lebih klasik, dengan daun pintu dan bingkai jendela yang dipelitur mengkilat. Rumah Anne bergaya modern. Pintunya putih tulang. Dan ketika ia melihat ke luar jendela, pemandangan di jalan tidak sama. 

Dari hari ke hari, rumah Anne semakin kosong. Buku-buku di perpusatakaan semakin sedikit. Lukisan-lukisan diturunkan dari dinding lorong dan ruang keluarga. Dan pada suatu hari, semuanya terkemas rapi dalam dus-dus besar. Siap dibawa ke Paris. 

Penonton juga sempat dibuat bingung. Karena berhari-hari Anne tampak mengenakan blouse yang sama. Berwarna biru, dengan kerah pendek. Masak nggak ganti baju? Ternyata, memang hari belum berganti. Kita terbawa delusi Anthony bahwa sepekan telah berlalu. Sementara sebenarnya cerita berputar-putar di satu hari yang sama.  

Oscar buat Hopkins? 

Betapapun excellent skenario yang dibuat Florian Zeller, The Father tidak akan mengguncang kita sedahsyat ini kalau pemainnya bukan Anthony Hopkins. Akting Hopkins memang selalu istimewa. Namun, kita tidak bisa membayangkan tokoh Anthony jika bukan diperankan olehnya. Ia menggerutu, tertawa, marah, menangis, dan bersikap menyebalkan dengan sangat natural. Seperti tidak sedang berakting. 

Meskipun, tentu saja dia berakting. Hopkins yang asli, di usia 78 tahun, masih sangat energik. Ingatannya tajam. Dan masih sangat aktif berkarya. Ini tahun kedua beruntun ia masuk nominasi Oscar. Tahun lalu, Hopkins juga dinominasikan lewat peran sebagai Paus Benediktus XVI di film The Two Pope. Namun kalah oleh Joaquin Phoenix, si pemeran Joker.

Lalu, apakah kali ini ia akan berhasil? Jika hanya melihat akting, seharusnya ya. Tapi, Hopkins punya masalah yang sama dengan Meryl Streep. Ia akan bermain sangat bagus. Di film apa pun. Akting yang luar biasa bukan sesuatu yang spesial. Ketika dalam satu musim penghargaan ada aktor yang istimewa, maka aktor tersebut akan menang. Hopkins (seperti halnya Streep), akan ’’dikalahkan’’. Karena toh tahun depan akan tampil bagus lagi di film lain. Selalu begitu. 

Nah, tahun ini, kecenderungan anggota Academy Awards akan memberikan penghargaan posthumous kepada Chadwick Boseman. Yang bermain prima dalam Ma Rainey’s Black Bottom. Ini adalah kesempatan terakhir memberikan award kepada bintang Black Panther itu. Tampaknya, Hopkins sekali lagi harus mengalah… (ekn)

Sumber: