Mengintip Kultur Bulu Tangkis di Korea
Dari segi cerita, dari dua episode yang sudah tayang, mungkin belum spektakuler. Plotnya sangat ringan dan mudah diikuti. Pelatih Yeon mengemban misi untuk membawa tim beranggota minimalis itu menjuarai sebuah turnamen regional. Agar pendanaan klub bulu tangkis itu tidak dicoret oleh sekolah. Itu tentu tugas superberat yang cenderung mustahil.
Namun, bukan hanya ceritanya yang membuat drama ini diterima dengan baik oleh pemirsa di Korea. Racket Boys menggambarkan suasana pelatihan atlet pelajar dengan sangat akurat. Jenis-jenis latihannya, fasilitasnya, hingga kondisi fisik anak-anaknya.
Seperti metode yang banyak diterapkan pelatih pelatnas, anak-anak remaja itu di-drill latihan fisik yang tak habis-habis. Lari keliling lapangan 50 kali untuk pemanasan, servis 100 kali, swing 500 kali, dan sebagainya. Untuk penguatan core serta otot tangan dan kaki. Dan sewajarnya anak remaja. Mereka muntah-muntah setelah sesi yang berat itu. Namun, tentu kelelahan disajikan dengan jenaka.
Suasana turnamen juga digambarkan dengan realistis. Sebagai ekstra, kru produksi menggandeng atlet-atlet remaja sungguhan. Namun, harus diakui, memang para aktor muda memberikan penampilan yang sangat mendekati pemain bulu tangkis sebenarnya. Cara mereka memegang grip, foot work, ayunan raket, hingga cara smash mereka membuat kita percaya. Bahwa mereka benar-benar pemain bulu tangkis.
Begitulah. Racket Boys adalah serial yang cocok ditonton para badminton lovers. Yang tidak ingin melihat bagaimana legenda-legenda seperti Lee Young-dae dilatih dan diasah menjadi mesin pencetak gelar. Tapi lebih ke bagaimana anak-anak ajaib seperti An Se-young ditemukan.
Tersembunyi di kota-kota pesisir yang sepi. Di balik rumah-rumah beratap orange yang lapuk. Di ruang ganti gym sekolah bersiswa minimalis di tempat seperti Haenam. (*)
Sumber: