Faisal Basri: Pajak Dinaikkan Tapi Korupsi Merajalela
![Faisal Basri: Pajak Dinaikkan Tapi Korupsi Merajalela](https://ameg.disway.id/uploads/Faisal-Basri.jpg)
A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
AMEG - Ekonom Faisal Basri mengatakan prihatin dengan kondisi saat ini.
Faisal meyakinkan pemerintah bahwa rakyat tidak setuju PPN dikenakan untuk sekolah dan sembako.
"Tapi, agaknya bukan soal itu yang mengusik masyarakat, melainkan rasa keadilan, pajak dinaikkan tapi korupsi merajalela," kata Faizal melalui akun Twitternya @FaisalBasri, kemarin.
Selain itu, Faisal juga menyoroti mimpi pemerintah saat ini. "Buat beli senjata 1,8 kuadriliun, lalu bangun ibu kota baru yang terbaik di dunia, pajak bukan untuk membiayai mimpi," kata Faisal Batubara, nama asli pria kelahiran Bandung pada 6 November 1959 ini.
Mengenai pelemahan KPK tak luput dari sorotan pengajar kampus UI Jakarta ini. "Baru selesai menyimak "The EndGame" hampir dua jam, film ini membangkitkan kesadaran kolektif betapa negeri tercinta sedang di bibir jurang, harus diselamatkan, " tegas ekonom kharismatik yang kini berusia 61 tahun ini.
Faisal mengatakan, semakin membuktikan bahwa musuh utama pengusaha adalah korupsi. Tapi kenapa KPK justru dilemahkan.
"Demokrasi di Indonesia baru sebatas membangun monumen, bukan menyejahterakan rakyat, persembahan untuk dunia lebih utama daripada untuk rakyatnya sendiri," kata pendiri Yayasan Harkat Bangsa, Global Rescue Network dan Yayasan Pencerahan Indonesia ini.
Faisal mengurai bahwa korupsi menggila bukan hasil dari demokrasi. "Tapi kemerosotan demokrasi beriringan dengan pemburukan indeks persepsi korupsi, demokrasi kita sungguh mengalami kemunduran, antara lain dalam hal checks and balances, budaya politik, dan pelemahan masyarakat sipil," paparnya.
Faisal mengingatkan bahwa semakin banyak rakyat tertindas, kian muncul perlawanan, yang kemudian dilabeli radikal. "Ketika hukum mengabdi pada kekuasaan, tajam ke bawah dan tumpul ke atas, rakyat akan mencari jalan lain, lalu dicap radikal," jelasnya. (*)
Sumber: