Gusdurian dan Tanggung Jawab Meraih Puncak Kekuasaan

Gusdurian dan Tanggung Jawab Meraih Puncak Kekuasaan

Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA*

PERLU mengenang sejarah untuk menyusun masa depan yang lebih cerah. Apalagi, sejarah itu adalah tentang kejayaan masa silam yang dapat memberikan bekal psikologis dan intelektual bagi generasi penerusnya, seperti keberhasilan

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilihan Umum 1999, dengan perolehan suara 12,61 persen. Suatu prestasi yang bahkan belum tercapai hingga Pemilu 2019, yang hanya berhasil meraih 9,69 persen suara.

Tanggung jawab mengembalikan kejayaan masa silam PKB ada pada Gusdurian, yang secara ideologis mengeklaim berasal dari gagasan Gus Dur, sehingga sudah semestinya secara politis juga kembali ke partai politik yang dibentuk Gus Dur sendiri. Tanpa ada pernyataan tegas, yang tidak abu-abu, bahwa Gusdurian berafiliasi pada PKB sepenuh hati, Gusdurian seperti duri dalam daging. Atau bahkan lebih ekstrem lagi, Gusdurian telah berkhianat pada allahummarham Gus Dur.

Dukungan Gusdurian adalah kata kunci bagi kemenangan PKB pada Pilpres 2024. Bahkan, Gusdurian bisa berkontribusi lebih daripada sekadar memenangkan PKB. Yaitu, atas nama kemenangan partai politik Islam. Sebab, semua pengamat politik masih belum menemukan jawaban yang tepat, mengapa sepanjang sejarah, partai politik Islam tidak pernah menang!

Dengan pernyataan penuh dan tulus bahwa Gusdurian akan berafiliasi pada PKB, yang hari ini sedang dipimpin Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Gusdurian setidaknya akan menggedor kesadaran elite-elite politik di seluruh partai Islam, bukan hanya PKB. Yaitu, kesadaran tentang arti penting persatuan dan kesatuan setiap unsur pembentuk sebuah partai politik. Jika tidak ada persatuan di internal partai Islam, kutukan sejarah terhadap parpol Islam tidak akan pernah berubah.

Mari sejenak kita mengenang partai Masyumi, yang gagal meraih puncak kekuasaan, di mana kadernya mesti jadi presiden. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari konflik internal tahun 1952 sehingga NU keluar dan Partai NU berdiri. Peristiwa tersebut jika dilihat dari sudut pandang orang dalam, sesama muslim, tentu itu soal perbedaan pemikiran.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang orang luar, tentu itu akan berakhir pada kesimpulan: orang-orang Islam mudah pecah belah.

Nyatanya memang benar. Secara objektif, umat muslim mudah dipecah belah. Itu bisa dilihat dari pengalaman partai-partai politik Islam era reformasi. Orang-orang ”Partai Keadilan (PK)” tidak sejalan dengan orang-orang ”Partai Sejahtera (PS)” sehingga dua kubu itu harus dirangkul menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Apakah strategi tersebut berhasil? Tentu tidak! Lihat saja, setelah itu muncul lagi Partai Gelora. Hal serupa menimpa partai lain. Misalnya, dulu pendiri Partai Amanat Nasional kini pendiri Partai Ummat.

Lupakah saja partai lain. Biarlah mereka hidup dengan hasrat mereka sendiri. Namun, kita sebagai warga nahdliyyin yang khususnya sama-sama pengagum gagasan Gus Dur sudah saatnya bersatu padu, membesarkan PKB, warisan Gus Dur yang paling konkret dan nyata. Biarkanlah partai politik Islam lain tidak sadar tentang arti penting persatuan, soliditas, keakuran, tetapi kita harus lebih dulu memberikan contoh. Jadi, jika Gusdurian menyatakan sepenuhnya mendukung PKB, itu akan berguna sekali bagi PKB, sekaligus akan berguna bagi partai politik Islam lain, agar mereka juga membangun soliditas di internal.

Saat soliditas di internal partai politik Islam masing-masing tercapai, baru saat itu kita bicara soliditas antarpartai Islam. Jika kembali tercapai, maka terakhir, kita bicarakan soliditas antara partai Islam dan partai nasionalis, demi kepentingan bangsa dan negara di masa depan. Saya kira tepat sekali pendapat Buya Syafii Maarif mengomentari keresahan hati Presiden Jokowi. Bahwa bangsa ini dihormati negara asing dengan sangat mentereng. Tetapi, sangat rapuh, kotor, dan jijik di dapur sendiri.

Penulis merasakan hal yang sama. Untuk itulah, sependek pengetahuan penulis, langkah kecil yang bisa dilakukan untuk mengubah masa depan adalah dimulai dari diri sendiri masing-masing. Yang paling nyata dan dekat dengan kehidupan penulis adalah tentang hubungan PKB dan Gusdurian. Mengapa Gusdurian? Karena sepengamatan penulis, komunitas yang satu ini diisi generasi muda milenial dari banyak lapisan sosial, mulai mahasiswa, doktor profesor, kiai, hingga politisi ulung. Jika mereka bersatu padu dengan PKB, bukan hanya partai Islam yang akan bermanfaat, melainkan juga umat muslim, bangsa, dan negara ini.

Dukungan tegas dari seluruh Gusdurian kepada PKB pasti akan menginspirasi basis massa partai politik Islam yang lain, agar mereka juga segera membangun kembali soliditas. Sebaliknya, jika Gusdurian mencontohkan keteladanan yang buruk, yang dengan berbagai alasan tak terbantahkan menolak bergabung dengan PKB, orang lain juga bisa melakukan hal yang sama. Jika sampai terjadi, bukan hanya PKB yang terpisah dari Gusdurian, melainkan percekcokan dan konflik politik seakan sebuah tradisi yang lazim dan lumrah. Padahal, keburukan apa pun, sekalipun terus-menerus terjadi dan berulang, tetaplah keburukan. Perpecahan adalah keburukan tersebut.

Sebaliknya, persatuan dan kesatuan, sekalipun sulit diraih, tetaplah kebaikan. Bahkan, sekalipun seluruh dunia setuju bahwa persatuan sebagai sesuatu yang sia-sia kita perjuangkan, anggapan tersebut tidak menyurutkan nilai penting persatuan. Karena itu, atas dasar itu pula, apa makna Gusdurian memperjuangkan nilai-nilai pluralisme, harmoni, persatuan antar-anak bangsa, sementara pihaknya sendiri sangat sulit untuk hidup harmoni atau bersatu dalam satu payung bersama (PKB), yang diciptakan dan didirikan oleh satu figur yang sama-sama kita junjung tinggi: Gus Dur.

Sumber: