Kongres Lahan

Kongres Lahan

SEBENARNYA marah nggak sih Presiden Jokowi ke Buya Anwar Abbas?

Medsos merilis video yang beredar luas. Temanya: Presiden men-skak Buya Abbas sampai lima kali. Pidato Presiden hari itu dipotong-potong. Diambil bagian-bagian tertentu. Sebagai bukti skak pertama sampai skak kelima.

Sebelum potongan-potongan skak itu, ditampilkan potongan sambutan Buya Abbas di acara tersebut -Kongres Ekonomi Umat Islam ke-2 pekan lalu.

Dari potongan itu kesannya kuat: Buya Abbas mengkritik keras pemerintah langsung di depan Presiden. Yakni soal penguasaan 59 persen tanah oleh hanya 1 persen warga negara.

Saya pun menghubungi Buya Abbas kemarin. "Kalau saya kok tidak merasa Bapak Presiden marah kepada saya," ujarnya. "Apakah mungkin karena saya orang Padang? Sehingga perasaan saya beda dengan orang Jawa?" tambahnya.

Kongres Ekonomi Umat Islam itu merupakan acara Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kongres pertama berlangsung tahun 2017.

Hari itu, mestinya Dr Anwar Abbas tidak tampil memberi sambutan. Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar -yang juga Rais Aam PB-NU- yang akan berpidato. "Menjelang berangkat ke sana saya mendapat telepon dari sekjen MUI. Ia bilang ketua umum berhalangan hadir," ujar Buya Abbas. "Saya, sebagai wakil ketua umum, harus menggantikan beliau," tambahnya.

Buya sebenarnya lebih senang kalau berpidato tanpa teks. Karena di acara itu ada presiden ia harus membatasi diri.

"Saya putuskan membuat teks pidato," katanya.

Tapi waktu untuk membuat teks tidak cukup. Tidak bisa juga dibuat di perjalanan. Sopirnya lagi sakit. Buya harus setir sendiri mobil Kijang Innova- nya.

Maka, setiba di tempat acara, Buya berhenti dulu di tempat parkir -di basemant Hotel Sultan dekat Semanggi, Jakarta.

Ia membuat teks pidato di situ. Di HP-nya. Mesin mobil dibiarkan terus hidup agar AC tetap menyala.

Buya tidak perlu buka-buka data. Ia putuskan untuk mengemukakan soal keadilan ekonomi. Mumpung di depan pengambil kebijakan tertinggi. Ia ingat pertemuannya dengan Menteri Agraria Dr Sofyan Jalil. Ia pernah bertanya: berapa indeks tanah kita. Sang menteri, menurut Buya, menjawab jelas: 0,59. Itu berarti 1 persen warga negara menguasai tanah 59 persennya.

Menurut Buya, itu simbol ketidakadilan ekonomi yang sangat nyata. Sebagai doktor ekonomi Buya banyak membaca buku ekonomi. Termasuk yang ditulis ahli-ahli ekonomi dari Barat. Ia setuju dengan teori bahwa ekonomi itu tidak dikendalikan oleh politisi atau cendekiawan atau lainnya. Ekonomi itu dikendalikan oleh yang menguasai ekonomi.

Sumber: