Bunuh Potong Payudara, Pembunuhan Signature

Bunuh Potong Payudara, Pembunuhan Signature

Korban langsung autopsi. Kondisi: Perempuan usia 59, tinggi 150 sentimeter. Bekas pukulan benda tumpul di wajah. Luka sayat di leher. Luka sayat sepasang payudara sampai habis. Luka sayat vagina sampai habis, tinggal tulang kemaluan.

Penyebab kematian: Sayatan di leher kiri, memutus pembuluh darah.

Jika hasil autopsi dikonfrontir dengan barang bukti cutter, maka cocok. Menyayat vagina sampai habis, bisa dilakukan dengan cutter.

Pembunuhan model begini (memotong alat vital) sangat jarang di Indonesia. Motif belum terungkap, sebab pelaku masih bungkam.

Pada awal 1980-an, Unit Ilmu Perilaku FBI (Federal Bureau of Investigation) Amerika sudah mempelajari pembunuhan model begini. Dari hasil penangkapan pelaku, disimpulkan: Semua pembunuhan dengan pemotongan alat vital adalah pembunuhan motif seks.

Motif seks bisa berarti pelaku berhubungan seks dengan korban. Atau pelaku punya kelainan seks yang disebut psikoseksual.

Hasil riset FBI itu dibukukan JE Douglas bersama C. Munn dalam buku mereka "Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging" (1992).

Di situ disebut pembunuhan jenis signature, yang kalau diterjemahkan jadi tanda tangan. Terdengar aneh. Tapi yang dimaksud signature adalah khas. Sebagaimana tanda tangan setiap orang, spesifik, tidak pernah sama pada setiap orang.

'And staging' jika diterjemahkan juga terdengar aneh. Tapi, maksudnya membanggakan, dalam perspektif pelaku.

Dalam banyak kasus yang ditangani FBI, pembunuhan signature adalah pembunuhan berantai. Atau dilakukan berkali-kali oleh pelaku yang sama.

Pembunuh signature melakukan pemotongan kelamin korban dengan tujuan memenuhi fantasi seks. Pelaku mendapatkan kepuasan seks luar biasa dengan melakukan itu. Disebut psikoseksual. Atau perilaku seks menyimpang. Intinya: Gendheng.

Douglas dan Munn, dalam buku mereka, tidak merinci, mengapa pelaku bisa (tepatnya, tega) melakukan itu. Mereka hanya menyebut, bahwa pelaku pengidap seks menyimpang.

Tanda-tandanya, tidak bisa diketahui secara gamblang. Tidak kasat mata. Seperti halnya pedofilia, masochis, fetish. Identitas pelaku baru ketahuan setelah ia melakukan kejahatan, dan heboh.

Itu sebebnya, dalam kasus tersangka Khadirun, Polres Tegal melibatkan bidang psikologi Polda Jateng dan Mabes Polri. Tersangka diperiksa tim ahli psikologi.

Mungkin, perilaku seks menyimpang sudah lama ada di masyarakat. Cuma, baru sekarang ada kasusnya. (*)

Sumber: