Nano Asmorodono: Azwar AN Tersenyum di Atas Sana
AMEG - YOGYAKARTA, Bak ketiban sampur saat keluarga besar Teater Alam menunjuknya menjadi Pimpinan Produksi acara “100 Mantra Teater Alam untuk Azwar AN”. “Semula saya bayangkan ini acara sederhana untuk memperingati 100 hari wafatnya bang Azwar AN, tokoh teater sekaligus pendiri Teater Alam,” kata Nano Asmorodono di Yogyakarta, baru-baru ini.
Alhasil, sebagai Pimpro, Nano sempat merasakan tekanan yang hebat demi mengamati proses produksi yang kemudian makin besar dan kian akbar. “Magnet bang Azwar memang luar biasa. Jika bukan karena keterbatasan waktu, tentu akan lebih banyak lagi seniman yang ingin terlibat. Saya memaknai sebagai sebuah apresiasi sekaligus penghargaan kepada almarhum,” tambah Nano.
Nano sendiri mengaku sebagai “murid ragil” Azwar AN. Sebab, setelahnya, ia tidak melihat ada rekrutmen anggota baru. “Artinya, banyak senior lain di Teater Alam yang tentunya lebih kapabel menjadi pimpro. Tapi ibarat sampur, memang bisa jatuh ke siapa saja. Saya terima tugas ini dengan penuh rasa takzim, semoga bisa memberi yang terbaik untuk guru, sahabat, sekaligus bapakku, Azwar AN,” tambah Nano, yang selama ini banyak menggeluti seni budaya tradisi.
Ihwal persinggungannya dengan Teater Alam, Nano mengisahkan saat ia keliling DIY, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat mengikuti kethoprak tobong atau kethoprak keliling. Sepulang dari tour kethoprak tobong, Nano memutuskan bergabung ke Teater Alam. “Di Teater Alam saya digembleng sehingga mendapat banyak sekali pelajaran. Bukan saja dalam berteater dan berkesenian tetapi juga dalam melakoni kehidupan,” ujarnya.
Cara Azwar AN melatih cantrik-cantriknya juga tak luput dari perhatian Nano. “Disiplin, itu kata kuncinya. Implementasinya menjadi terlihat galak dan keras. Tapi muaranya adalah disiplin. Itu yang saya catat,” kata Nano.
Upaya Azwar mendisiplinkan anggotanya, juga cukup unik. Setiap kesalahan, harus dibayar dengan melakoni hukuman. Ada yang disuruh menyapu, tidak hanya menyapu halaman rumah Azwar, tetapi menyapu lapangan tempat latihan. Kali lain, ada yang dihukum berlari keliling kampung, bahkan ada yang dihukum memanjat pohon, atau dihinggapi sendal terbang,” kenang Nano, sambil tertawa.
Pelajaran disiplin disertai hukuman-hukuman khas Azwar, kelak akan disadari sebagai sebuah pelajaran bagaimana kita menghargai waktu, menghargai orang lain, dan memahami pentingnya kerja sama.
Toh Nano juga menangkap sisi humanisme seorang Azwar yang sangat tinggi. Ia dinilai sebagai sosok pengayom bagi anak didiknya. Termasuk mengulurkan tangannya kepada anak didik yang kurang beruntung secara ekonomi. “Beliau tak ragu membantu, meski saya sendiri tahu kondisi ekonomi bang Azwar juga tidak berlebihan,” katanya seraya menambahkan, “saya kira semua cantriknya sepaham, dalam hal tertentu, hubungan dengan beliau pastilah serasa anak dan bapak.”
Dalam perjalanannya, Nano juga mengikuti perjalanan berkesenian Azwar AN, termasuk saat aktif menjadi Ketua PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) DIY. “Kebetulan waktu itu saya juga sebagai pengurus PARFI,” tambanya.
Di mata Nano, Azwar AN juga seorang seniman yang menaruh apresiasi tinggi terhadap seni tradisi. Antara lain dengan mengelola pertunjukan sendratari Ramayana di Purawisata. “Beliau juga mendorong saya menekuni seni tradisi. Bahkan meminta saya membentuk kethoprak untuk dikirim ke Festival Istiqlal di Jakarta. Saya kemudian mendirikan kethoprak Alam Budaya,” tutur Nano.
Kini, melalui “100 Mantra Teater Alam untuk Azwar AN” ia berharap para seniman Yogyakarta bersama anggota Teater Alam menampilkan performance secara maksimal. Ia berkepentingan untuk itu. “Kepentingan untuk membuat Bang Azwar tersenyum di atas sana,” pungkas Nano Asmorodono. (*)
Sumber: