Edukasi Umat untuk Bentengi Perpecahan akibat Polarisasi
AMEG - Kerap terjadinya ancaman perpecahan bangsa akibat polarisasi perlu lebih diperhatikan. Harus ada edukasi untuk membentengi umat akibat perbadaan pilihannya tidak berimbas perpecahan.
"Polarisasi (perbedaan) itu memang tak bisa dihindari, termasuk pilihan politik. Tapi, jangan berujung konflik dan saling caci-maki. Nah, Muhammadiyah harus ikut hadir, mengedukasi masyarakat," demikian Wakil Ketua PDM Kabupaten Malang, Syamsul Arifin, usai acara Kajian Ramadan PDM di SMKM 1 Kepanjen, Ahad (10/4/2022) siang.
Edukasi yang dimaksud, yaitu seperti memperkuat pemahaman literasi. Menurut Syamsul, jika ada informasi tiba-tiba dari medsos yang mengandung fitnah dan kebencian, maka tidak serta merta ikut menyebarkannya.
Selain literasi terkait keadaban dan akhlaq jika berbeda pilihan dan pandangan, pemahaman umat juga harus dibentengi.
"Ya, akses informasi yang bisa datang dari mana saja dan terbuka ini juga harus dipilah. Jangan sampai menjadikan umat mengalami infiltrasi (kemasukan paham tak baik)," jelas Guru Besar Sosiologi Agama UMM ini.
Syamsul mengaku prihatin dengan fenomena bangsa yang sudah terbelah dan terpolarasi selama ini. Perpecahan pada munculnya isu-isu yang menjurus sentimen politik dan keagamaan. Seperti, fenomena kelompok kadrun, cebong dan kampret.
Dalam kajian Ramadan PDM ini, juga banyak dikupas soal dinamika dan tantangan dakwah. Pemateri lainnya, disampaikan Nurul Humaidi, Sekretaris PDM Kabupaten Malang.
Menurut Nurul Humaidi, siar dakwah umat juga mengalami banyak tantangan berat di masa kini. Karena, sudah banyak terjadi gejala disrupsi dalam era informasi digital.
"Disrupsi itu berarti pula tercerabut atau hilang dari aslinya. Nah, ini juga yang harus dikembalikan, dengan dakwah mengajak kebaikan dan mengindari kemungkaran," kata dosen FAI UMM ini.
Nurul lalu menjelaskan, salah satu esensi dalam siar dakwah. Menurutnya, dakwah itu menghadirkan Islam yang lembut dan halus, dengan konsep rahman (kasih).
"Dalam berdakwah itu tidak bisa dengan yang keras, yang ngeri (menakutkan) saja. Seperti ancaman siksa neraka saja. Tetap harus dengan penuh rahman," demikian Nurul Humaidi dalam tausiyahnya. (*)
Sumber: