Rumah Semeru

Rumah Semeru

Tidak mudah meyakinkan korban  untuk pindah ke lokasi baru. Mereka lebih menginginkan diberi uang untuk membangun kembali rumah di tempat asal mereka: di bantaran sungai lahar.

Tentu pemerintah tidak setuju. Setiap kali gunung Semeru meletus kampung lama itu selalu dilanda banjir lahar. Pemerintah menghendaki agar mereka pindah ke lokasi aman. Banyak tanah Perhutani di lereng Semeru. Kebetulan ada 81 hektare yang relatif datar. Cukup untuk membangun 1951 rumah —-sesuai dengan jumlah korban yang rumah mereka hancur.

Dan yang penting ada sumber air di lereng gunung itu. Kementerian PUPR membangun tangki air besar. Cukup untuk keperluan air semua rumah baru. Air mengalir dari tangki itu ke rumah korban lewat pipa. Tanpa pompa. Posisi tangki jauh lebih tinggi.

"Warga sendiri yang akan mengelola air ini nanti," ujar Cak Thoriq.

Saya juga melewatkan Land Rover ke deretan rumah yang menghadap sungai. "Wow. Indah sekali. River view," celetuk saya secara spontan.

Di samping menghadap sungai juga ada tanah lapang di depan. Blok rumah lainnya dibangun di seberang tanah lapang itu.

Tapi tidak boleh ada yang minta rumah di situ. Juga tidak ada undian rumah. Penempatannya kelak berdasar posisi rumah mereka di kampung lama.

"Tetangga mereka pun tetangga lama. RT mereka pun RT lama," ujar Cak Thoriq. Dengan demikian semua aktivitas sosial mereka di kampung baru tidak ada yang berubah.

Di tanah lapang itu akan dibangun masjid, sekolah dan fasilitas olahraga. "Masjidnya akan dibangun oleh alumni Akabri," ujar Cak Thoriq.

Cak Thoriq adalah mantan aktivis mahasiswa. Ia Presiden BEM IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ia tokoh dalam gerakan mahasiswa di masa reformasi 1998.

Setelah reformasi selesai ia seperti kehilangan kesibukan. Apalagi kuliah pun sudah lulus: jurusan linguistik (Adab). Maka ia putuskan untuk kuliah S-2 linguistik di University of Malaysia di Kuala Lumpur. Belum ada jurusan itu di Pascasarjana IAIN.

Untuk membiayai kuliah ia mengajar ngaji di sana. Ia diminta mengajar membaca Quran di tiga rumah. Yang diajar anak-anak asli Malaysia. Salah satunya mengajar juga orang tua si anak.

Dahlan Iskan (kanan, penulis) dan Bupati Lumajang Thoriqul Haq di lokasi anyar hunian korban awan panas guguran Gunung Semeru.(FOTO: DISWAY)

Tapi gaji mengajar di tiga rumah tidak cukup. Jauh dari keperluan. Maka Cak Thoriq putuskan: kerja di restoran. "Setidaknya saya bisa makan gratis," katanya mengenang.

Dua tahun Cak Thoriq kerja di resto yang jual sate di daerah Kajang, Selangor. "Sate Kajang itu terkenal sekali," katanya.

Lulus S-2 Cak Thoriq pulang. Inginnya jadi dosen. Tapi belum ada jadwal penerimaan dosen. Ia pun mengabdi di sekretariat DPP PKB di Jakarta. "Jadi tukang ketik," katanya.

Sumber: