Macet Puncak Bogor dan Joget Beruang Es
Beruang menatap tajam pada anjing. Sebaliknya, anjing menunduk. Pada detik-detik kritis itu, ekor anjing mengibas pelan. Makin lama, kibasan makin cepat. Tidak ada yang tahu, simbol apakah itu.
Alamakā¦ Suatu keajaiban terjadi.
Tahu-tahu, beruang meloncat-loncat. Seirama dengan kibasan ekor anjing. Wajah beruang tak lagi galak. Sepertinya gembira. Ia terus meloncat-loncat.
Tak butuh lama, anjing segera ikutan meloncat-loncat. Mengimbangi ritme loncatan beruang. Sambil meloncat-loncat, mereka sama-sama bergeser, membentuk gerakan melingkar. Persis seperti manusia berdansa.
Sekitar sepuluh menit mereka begitu. Indah sekali. Damai.
Lalu terjadilah ini: Beruang dan anjing sama-sama menggigit. Menggigit menarik bulu, satu sama lain. Tapi, bukan dalam gerakan buas. Rupanya mereka bergurau. Gurau gaya hewan. Itu terjadi sekitar lima menit.
Kemudian beruang dan anjing berpisah begitu saja. Tanpa ada yang terluka. Bahkan, mereka kelihatan happy.
Dr Brown menyimpulkan, jelas bahwa beruang itu lapar. Kelihatan dari gayanya saat mendekati calon mangsa.
Brown dalam bukunya: "Beruang bisa dengan mudah melahap anjing itu untuk menutup rasa laparnya. Tapi, ada dorongan lain yang lebih kuat yang ia lakukan. Keinginan yang lebih besar daripada kelangsungan hidupnya sendiri: Bermain."
Kisah nyata hasil riset ini bisa saja bersifat subyektif, dalam perspektif manusia (Brown). Tapi jangan salah, Brown juga pakar gelagat hewan. Ia juga konsultan National Geographic bidang hewan, selama setahun sampai Desember 1994.
Kendati, buku itu lebih banyak mengulas, bahwa manusia membutuhkan rekreasi dan bermain. Kejadian beruang itu hanya pelengkap, yang kebetulan mendukung teori Brown.
Maka, jika warga Jabodetabek berbondong-bondong ke Puncak, pasca Lebaran, jangan disalahkan. Itu bagian dari rekreasi dan bermain. Tidak peduli jalanan sangat macet.
Ibarat beruang, lebih baik kelaparan daripada tidak rekreasi. Atau bagi Ruslan, lebih baik bermacet-macetan daripada terserang depresi. (*)
Sumber: