Hotel Marcopolo
MUKTAMAR ke 30 Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, 21-27 November 1999. Peristiwa itu masih sering muncul dalam ingatan. Karena pada muktamar itu saya merasa terlibat di dalamnya, bukan sebagai peserta aktif tetapi ikut mendampingi KH Hasyim Muzadi, yang kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 1999-2004. Dan terpilih lagi pada muktamar berikutnya tahun 2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Peristiwa besar tahun 1999 itu tidak akan pernah saya lupakan.
KH Muzadi adalah sahabat bapak saya, Soegiono, tapi sekaligus juga sahabat saya. Karena itu saya bersedia ketika diminta untuk mengantarkan menjadi sopir dari Malang menuju Kediri, tempat berlangsungnya muktamar. Saat itu, almarhum adalah Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim, yang jadi calon ketua umum PBNU.
Suatu kebanggan bagi saya untuk bisa mengantar KH Hasyim Muzadi, bahkan kemudian bisa ikut nimbrung melihat secara langsung pelaksanaan muktamar yang digelar organisasi terbesar ini.
Sebelumnya saya tidak bisa membayangkan akan bisa bertemu para kyai khos yang sangat terkenal dan populer, termasuk Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid. Karena tidak memiliki bayangan bagaimana suasana muktamar, maka saya pun tampil casual saja, sebagaimana penampilan sehari-hari, pakai baju putih dan celana jeans.
Begitu sampai di arena muktamar, saya amat terkejut. Lautan manusia sudah memenuhi jalanan di sepanjang jalan di Kota Kediri. Dan orang-orang itu, menariknya, semuanya memakai sarung, peci hitam atau kopiah putih, bersandal. Lebih terkejut lagi ketika melihat sambutan yang mereka berikan kepada orang yang duduk di samping saya, KH Hasyim Muzadi, luar biasa.
Sebagai sopir dan sebagai sesama arema atau arek Malang, saya merasa bangga. Mobil kami tak dapat melaju dengan lancar, akibat sambutan yang diberikan oleh lautan manusia kepada Pak Hasyim. Untuk masuk ke arena di halaman pondok pesantren yang didirikan tahun 1910 itu, dibutuhkan waktu lebih lama dibanding waktu tempuh dari Malang ke perbatasan Kabupaten Kediri.
Malam harinya, sebelum pembukaan muktamar, saya diajak masuk ke ruangan utama, di mana tuan rumah yang juga pengasuh pondok ketika itu, yaitu KH Idris Muzaki yang wafat tahun 2014, sedang menerima tamu-tamunya termasuk Gus Dur. Mereka duduk melingkar. Lesehan.
Para kiai itu berbicara sambil tak berhenti tertawa. Sejak saat itu saya tahu bahwa hampir semua kiai adalah humoris dan suka sekali bercanda. Guyonan khas NU. Orang yang menarik saya untuk ikut masuk ke ruangan para kyai itu bukan Pak Hasyim, melainkan kawan saya, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, yang saat itu menjadi Plt. Ketua Umum PP Ansor, menggantikan M. Iqbal Assegaf yang meninggal karena kecelakaan di jalan tol, bulan Februari 1999.
Gus Ipul sendiri secara difinitif akhirnya terpilih dalam Kongres Ansor tahun 2000 dan kembali terpilih pada kongres 2005. Di pojok ruangan di Lirboyo, saya duduk berdampingan dengan Gus Ipul, mendengarkan guyonan para kiai.
Saat berlangsung puncak muktamar yaitu ketika sampai pada pemilihan ketua umum, saya juga duduk berdampingan dengan Pak Hasyim Muzadi. Bahkan beliau minta saya untuk mencatat satu persatu suara yang masuk ketika dilakukan penghitungan suara. Dan Alhamdulillah, Pak Hasyim memenangkan pemilihan dan dinobatkan sebagai Ketua Umum PBNU masa khidmat 1999-2004 menggantikan KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Terpilihnya Pak Hasyim menjelang subuh itu disambut dengan gemuruh sholawat, dan saya sangat terkejut karena tiba-tiba saya melihat kibaran puluhan bendera Arema di arena muktamar. Dengan badan yang lelah dan mata mengantuk usai subuh saya segera tidur, karena tidak mampu lagi mengikuti dan menyaksikan eforia kemenangan. Sampai saat saya tertidur, Pak Hasyim belum berhenti menerima ucapan selamat dari para nahdliyin.
Tiga hari setelah selesainya Muktamar ke 30 PBNU, saya dihubungi oleh Pak Hasyim Muzadi. Saya diajak ke Jakarta. Katanya untuk melihat kantor PBNU. Ini untuk pertama kalinya sejak terpilih beliau ke kantor PBNU.
Wow,…saya mengira tugas saya mendampingi beliau sudah selesai dengan suksesnya muktamar. Tapi saya juga tidak bisa dan tidak ingin menolak ajakannya ke Jakarta. Persoalannya, saya tidak punya uang. Mungkin Pak Hasyim mengira sebagai anak mantan walikota, saya memiliki banyak uang. Padahal saya harus mencari pinjaman dulu untuk sangu ke Jakarta itu.
Dengan uang pinjaman, saya membeli tiket pesawat untuk dua orang. Sisa uang pinjaman saya perkirakan bisa untuk sewa kamar hotel dua hari dan makan untuk kelas depot sederhana, serta biaya transportasi dengan taksi selama berada di Jakarta. Kalau saya mengingat itu, saya merasa betapa gilanya saya berani mendampingi Ketua Umum PBNU dengan logistik pas-pasan, hasil dari meminjam pula.
Sumber: