Azyumardi Azra & Pers Kritis

Azyumardi Azra & Pers Kritis

Oleh LUTFIL HAKIM (Ketua PWI Jatim)

Meski hanya empat (4) bulan Azyumardi Azra memimpin Dewan Pers (dilantik 18/5, meninggal 18/9) – tapi ada catatan penting yang ‘’wajib’’ diperhatikan dan ‘’harus’’ dilaksanakan oleh kalangan pers, yakni menjadikan pers nasional sebagai mitra kritis pemerintah.

Dewan Pers akan Jadi Mitra Kritis Pemerintah,” kata Azyumardi Azra (akrab disapa Prof Edy/Prof Azra) dalam satu seminar di Hall Dewan Pers - Jakarta, Jumat (3/6). “Pers perlu mendukung kebijakan positif pemerintah. Namun jika dirasa ada kebijakan yang tidak tepat, wajib bagi pers memberi masukan.”

Statemen Ketua Dewan Pers itu seolah ‘’wasiat’’ bagi kalangan pers untuk senantiasa menjalankan peran watchdog terhadap jalannya pemerintahan, di tengah makin lemahnya kontrol sosial oleh oposisi dan kendornya peran opsiner oleh civil society.

Sebagaimana UU Pers - Pasal 3, selain menerangi dan mencerdaskan, tugas lain pers adalah sebagai kontrol sosial (watchdog). Diksi kontrol di sini bermakna sebagai alarm, mencegah terjadinya ketimpangan serta ketidak-adilan, terutama akibat penyelewengan kekuasaan seperti; praktek KKN, otoriter, oligarki, serta political relations with other deviant practices.

Prof Azra seolah berpesan, diktum UU Pers yang mayority  berisi moral-force, wajib dipertaruhkan oleh praktisi pers – sebagaimana amanat Pasal 6, yakni wajib menegakkan demokrasi dan supremasi hukum, menghormati kebhinekaan & HAM, melakukan pengawasan – kritik - koreksi terkait kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Artinya, pers wajib kritis –  terutama pada ”kebijakan” yang disponsori para pihak yang bergumul dalam kelentan oligarki. Pers wajib ‘menghadang’ kebijakan hasil praktek  political connections antara penguasa dan pemburu rente. Pers harus berani, apapun resikonya. Karena di sanalah letak marwah tertinggi pers. Independensi harga mati.

Pers wajib melindungi segenap bangsa dari segala bentuk kebijakan berbasis keserakahan. Meski para oligar kini banyak menelusup ke sendi – sendi kepemilikan perusahaan pers, tapi insan pers wajib busung dada untuk tidak terkooptasi dalam membela kebenaran. Insan pers wajib mengambil jarak tegas dengan pemilik modal tempatnya bekerja. Jangan ada parktek pengkondisian berita hanya untuk kepentingan mendapatkan iklan.

Dalam dunia jurnalistik ada istilah fire-wall atau pagar api. Maksudnya, news-room harus memiliki batas tegas dengan ruang usaha (non-redaksi). Manajemen perusahaan tidak boleh mengarahkan kebijakan redaksi dengan alasan apapun, apalagi bermotif pendapatan iklan.

Di banyak negara maju, halaman suratkabar selalu memasang garis pembatas, untuk membedakan mana konten redaksi vs konten advertorial/iklan. Media besar seperti Asahi ShimbunSauth China Morning PostWall Street JournalThe NewYork TimeFinancial TimeInternational Herald Tribune, atau di Singapore ada Far Eastern Economic Review dan Asiaweek, semuanya tegas menerapkan fire-wall.

Meski dalam satu perusahaan, awak redaksi dan non-redaksi adalah dua hal yang berbeda. Awak redaksai diikat oleh aneka peraturan lain di luar ketentuan perusahaan. Mereka (jurnalis) memiliki kode etik sendiri (KEJ) yang harus dipatuhi, ada peraturan Dewan Pers yang mengikat, termasuk persyaratan lolos uji kompetensi (UKW). Awak redaksi harus berdiri tegak secara independen.

Prof Azra menyadari, independensi pers tidaklah mudah. Maka itu Dewan Pers di bawah koordinasinya melakukan upaya pembelaan terhadap seluruh ancaman kemerdekaan pers (threats to press freedom) – termasuk ancaman beberapa pasal karet di RUU KUHP. Dewan Pers telah melakukan protes keras atas pasal – pasal itu, dan memberikan masukan sesuai UU Pers.

Sikap Prof Azra ini harusnya menjadi semangat bagi seluruh komisioner (Anggota) Dewan Pers terkait perlindungan wartawan. Imunitas pers dan keselamatan jurnalis dari jerat hukum harusnya menjadi prioritas dibanding hanya ribut soal verifikasi media. Menjadi percuma jika masih ada jurnalis yang sudah lolos UKW – bahkan level utama, tapi produk beritanya masih bisa dihukum dengan UU non-Pers (UU ITE).

Keberadaan pers sangat dibutuhkan masyarakat, terutama di tengah situasi kekacauan ruang publik yang terkomtaminasi oleh berita – berita non-jurnalistik, berita hoax dan ujaran kebencian. Publik butuh hadirnya pers cerdas, yang bisa mengkonstruksi narasi jurnalistik secara profesional, faktual, taat KEJ, verifikatif, obyektif, relevan, komprehensif, proporsional, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, serta membela kebenaran dan keadilan – sebagai pusat referensinya.

Sumber: