KUHP Baru, Pilih Moral atau Devisa?

KUHP Baru, Pilih Moral atau Devisa?

Setelah KUHP tentang zina disahkan DPR RI, Selasa (6/12), Pemerintah Australia menerbitkan travel warning, Kamis (8/12). Jumlah turis Australia ke Indonesia sejuta orang per tahun, bakal merosot. Jadi dilema.

***

DILEMA antara penegakan moral ke-Indonesia-an dengan pendapatan dari sektor pariwisata. Tentunya, soal ini sudah diperhitungkan matang pemerintah dan DPR RI.

KUHP diterapkan sejak Indonesia merdeka, dan baru sekarang direvisi.

Dikutip dari buku: "Ontwerp wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indie Volume 1 (1911), disebutkan, KUHP produk Belanda. Namanya Wetboek van Strafrecht (WvS). Berlaku di Belanda sejak tahun 1886.

Ketika Belanda menjajah Nusantara, di Nusantara belum ada hukum formal. Hanya ada hukum adat. Berbeda-beda di tiap wilayah.

Maka, Belanda membawa itu ke sini. Namanya jadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Ada tambahan Nederlandsch Indie, karena Belanda menyebut Nusantara sebagai Nederlandsch Indie.

Sebagian pasal disesuaikan dengan kondisi masyarakat di sini. Tapi sangat sedikit.

WvSNI diberlakukan di sini sejak 1918. Atau setelah 32 tahun diterapkan di Belanda. Sebelum 1918 di Nusantara belum ada hukum formal. Adanya hukum adat. Membuat orang Belanda bingung.

Setelah Indonesia merdeka, biar cepat, WvS diberlakukan di sini. Diganti saja nama jadi KUHP. Semua isinya tetap sama. Revisi pertama dan disahkan DPR RI, Selasa (6/12).

KUHP lama, warisan Belanda, menganut budaya Belanda, melegalkan hubungan seks di luar nikah. Asalkan tanpa paksaan. Di KUHP revisi, soal itu diatur di Pasal 411, bunyinya begini:

Ayat 1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta).

Ayat 2. Tindak pidana tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan oleh (a) suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau (b) orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Dijelaskan, anak dimaksud adalah berusia maksimal 16 tahun.

Ayat 3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

Ayat 4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Sumber: