Salah Kaprah tentang Dokter
Tulisan Disway berjudul: Omnibus Lagi (2 Desember 2022), mendapat tanggapan yang sangat luas. Pro dan kontra hampir seimbang. Salah satunya yang ditulis dr Shoifi ini.
***
VIRAL di sosial media tentang dialog langsung Menkes Budi Gunadi Sadikin dengan para calon dokter spesialis. Meski tak lazim tapi toh sudah terjadi.
Mengapa tak lazim?
Pertama, para dokter calon spesialis ini sedang dalam posisi belajar di institusi pendidikan tempat mereka bernaung.
Ada guru dan para pengampu kebijakan yang sudah mengurusi hal-hal terkait pendidikan.
Jika ada yang tidak pas, kurang sreg atau nggak asyik, tinggal lapor sesuai dengan penjenjangan yang sudah ada. Mulai ke senior, ketua Program Studi (KPS) hingga ke penanggung jawab pendidikan di fakultas atau pun rumah sakit pendidikan.
Kedua, umumnya para dokter yang sedang belajar tidak bicara tentang ”kebijakan”. Tradisi ini sangat kuat bahkan di mana pun di dunia pendidikan dokter.
Para dokter yang sedang belajar akan sangat sibuk dengan program studinya, meski ruang komunikasi untuk hal lain tetap sangat terbuka.
Banyak yang didialogkan. Tentang insentif, darah biru, dan juga bagaimana proses pendidikan dokter spesialis itu dijalankan.
Tentang darah biru; ini lontaran Pak Menkes terkait ”banyaknya” permintaan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan spesialis yang datang padanya.
Meski agak aneh, karena saat dialog itu juga langsung dibantah, jangan-jangan yang datang ke Pak Menkes juga ”berdarah biru”. Tidak banyak orang di negeri ini yang punya akses langsung ke Menkes. Tapi bisa akan menarik jika Pak Menkes juga memberikan datanya.
Dunia pendidikan kedokteran termasuk sistem pendidikan yang sangat objektif. Untuk masuk, seleksinya sangat ketat. Darah biru atau darah merah akan menjalani proses seleksi yang sama. Terlebih saat menjalani proses pendidikan, kecakapan intelektual, skill/psikomotor dan attitude. Standar penilaiannya sangat ketat.
Mau darah apa pun prosesnya sama. Kecakapan ini bisa diukur dan diuji oleh banyak pihak. Penjenjangannya sangat ketat. Bagi yang tidak mampu pasti terhenti di tengah jalan.
Anggap saja ada dokter calon spesialis yang karena darahnya biru maka dia diterima. Tapi untuk menjalani proses pendidikan selama 5 tahun tidak pernah ada lagi yang akan paham dengan warna darahnya.
Sumber: