ABG Jember Hamil Digorok
Ketika marah meledak, hubungan pasangan bisa berakhir jadi pembunuhan. Tim periset membedakan kejahatan kekerasan dalam percintaan romantis jadi dua hal: Intimate Partner Violence (IPV) atau cinta berakhir kekerasan, dan Intimate Partner Homicide (IPH) percintaan berakhir pembunuhan.
IPH terkait kehamilan, cukup banyak. Tapi beda bentuk dengan kasus Jember yang menuntut dinikahi. Dalam riset tersebut, penyebab pembunuhan karena hamil, ada dua:
1) Korban mengandung bayi pacar. Cewek tidak ingin punya anak, karena masih sekolah. Maka, dia berusaha membunuh janin dengan cara memukul perut sendiri. Akhirnya cewek mati. Atau tidak sengaja bunuhdiri.
2) Korban mengira dia hamil. Lapor ke pacar, si pacar kesal. Karena, jika cewek melahirkan di usia remaja, maka polisi akan mencari si cowok. Hubungan seks di bawah usia 18 di sana ilegal.
Maka, cowok berusaha membunuh janin. Tidak mungkin aborsi di usia remaja. Tujuan membunuh janin, si cewek terbunuh. Bisa sengaja dibunuh atau tidak sengaja membunuh.
Uniknya, remaja AS mayoritas tidak suka menceritakan problem percintaan mereka kepada ortu. Kira-kira mirip dengan di Indonesia (belum ada riset tentang ini di Indonesia).
Para remaja bercinta, mayoritas curhat ke teman jika terjadi problem. Nasihat teman rata-rata salah, atau berdampak buruk. Bisa jadi karena si teman tidak pengalaman, tapi sotoy. Atau sengaja menjerumuskan.
Seumpama, para remaja menceritakan problem percintaan mereka ke ortu, maka hampir pasti potensi IPV bisa dicegah. Setidaknya, tidak sampai terjadi IPH. Sebab, ortu lebih berpengalaman soal ini, seberapa pun tingkat pendidikan.
Di kasus Jember polisi masih menyidik berbagai hal. Termasuk, bagaimana peran ortu kedua belah pihak. Korban masih remaja, pelaku dewasa muda. Jadi masih perlu bimbingan ortu.
Bisa diduga, kecil kemungkinan korban cerita kepada ortu bahwa dia hamil. Soal ini di Indonesia masih tabu. Dan sangat menakutkan bagi remaja puteri untuk curhat begituan ke ortu.
Walaupun tabu, tapi mau. Inilah repotnya. Lebih tepat, bahayanya. Hal tabu dilanggar pasti bahaya.
Mestinya, sekolah memberikan dasar pendidikan seks sesuai usia murid. Kurikulum pendidikan kita masih kuno, sementara video porno sangat gampang diakses. Terjadi cultural lag, atau keterlambatan budaya. Berakibat tindak kriminal.
Tapi bisa dimaklumi, Menteri Pendidikan, Nadie Makarim yang lulusan Brown University, AS, sepertinya ogah memerintahkan kurikulum pendidikan seks.
Terbukti, ketika ia menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ia dikecam habis soal kata "dengan persetujuan perempuan". Sampai, Nadiem menjelaskannya bersama Cinta Laura di podcast Dedy Corbuzier. Meski peraturan itu akhirnya disahkan 31 Agustus 2021.
Pokoknya, soal seks bagi masyarakat kita selalu dihebohkan. Tabu, tapi mau. Tak peduli dampaknya bahaya seperti kasus Jember. (*)
Sumber: