Pledoi Syahganda: Demokrasi Harus Dipertahankan
AMEG - Kamis (8/4/21) hari ini berlangsung sidang lanjutan inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan, di Pengadilana Negeri (PN) Depok. Berikut kutipan pledoi secara lengkap.
YANG Mulia Ketua Majelis Hakim Bapak Ramon Wahyudi, Pak Hakim Anggota Andi Imran Makkalau dan Bu Hakim Anggota Nur Ervianti Meliala,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Saat ini saya sedang diadili karena kebebasan politik saya. Dengan alasan bukti 5 tweets saya tanggal 12/9/20 tentang "Pilkada Disebut Menkopolhukam Dibiayai Cukong", 1/10/20 tentang Gatot Numantyo mengutuk RUU Omnibus Law Ciptaker", 5/10/20 tentang "Buruknya RUU Omnibus Law Ciptaker", 8/10/20 tentang "Selamat Berdemonstrasi Buruh PPMI98 Kabupaten Bogor" dan 10/10/20 tentang "Keinginan Saya Ikut Hadir di Demonstrasi Menolak RUU Omnibus Ciptaker" polisi telah menangkap saya, memenjarakan saya selama 6 bulan dan jaksa menuntut saya 6 tahun penjara.
Dalam pemeriksaan BAP, oleh penyidik dikepolisian, fokus pertanyaan semuanya merujuk pada Tweeter tersebut. Saya dijerat oleh UU ITE dan UU Peraturan Hukum Pidana tahun 1946. Pada tuntutan JPU akhirnya saya dijerat dengan pasal 14 ayat 1 UU 1946 tersebut, yakni Menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.
Sejak awal penangkapan, "framing media" yang dipropagandakan aparatur kepolisian mengarahkan saya dan beberapa kawan saya lainnya, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, yang saat ini sedang di sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta beberapa elemen yang dikaitkan juga sebagai bagian dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), adalah penanggung jawab kerusuhan yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), pada tanggal 8 Oktober 2020, pada aksi rakyat menentang Omnibus Law RUU Ciptaker.
Sebagai aktivis mahasiswa yang dulu di penjara oleh rezim militer Orde Baru dan dipecat dari ITB, insting saya mengetahui pola ini adalah pola yang sama dari sebuah rezim yang mengalami kemunduran demokrasi. Selalu mencari kambing hitam.
Kemunduran demokrasi kita sudah dibahas para Indonesianis, khususnya di Australia, dan bahkan beberapa hari lalu dirilis oleh kementerian luar negeri Amerika Serikat. Ini dapat membahayakan nasib bangsa kita, dikucilkan dari pergaulan internasional. Apalagi posisi Indonesia saat ini sedang meminta negara lain, yakni Myanmar, anggota ASEAN, untuk menjalankan demokrasi di sana.
Demokrasi yang ada saat ini berasal dari reformasi politik 1998. Ketika Suharto tumbang. Bukan karena kita diajarin barat tentang demokrasi ataupun demokrasi yang banyak kalangan ummat Islam masih menganggapnya juga demikian, yakni faham liberalisme. Namun, bagi saya atau Sayyid Qutb dahulu di penjara Mesir atau Sukarno dan Hatta di Penjara Belanda dan Boven Digul, Syahrir, dan lain-lain di masa penjajahan atau Buya Hamka di masa Orde Lama, atau yang dipenjara Orde Baru Hariman Siregar dan sahabatku Jumhur Hidayat (yang ibunya menderita) dan lain-lainnya, makna kebebasan dan demokrasi sangat dijiwai. Kami yang pernah di penjara Orde Baru mengerti benar demokrasi itu apa. Kami menghargai benar kebebasan manusia itu. Kami mengerti benar menghormati perbedaan.
Reformasi politik 98 yang menghantarkan demokrasi di Indonesia itu mempunyai impian luhur bahwa dengan jalan demokrasi kita akan mempercepat tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sebuah jalan Indonesia berkeadilan. Ini bukan impian kosong, ini ilmiah! Karena memang ada korelasi yang sangat tegas dan kuat antara demokrasi, keadilan dan kesejahteraan.
Negara-negara yang menjalankan roda pemerintahannya secara demokratis seIalu menjadi negara-negara dengan kesejahteraan tertinggi di dunia, rakyatnya paling bahagia di dunia. Indeks demokrasi yang di keluarkan setiap tahun oleh The Economist selalu menunjukkan hal itu, menempatkan Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, Irlandia, Swedia, Denmark dan Eslandia sebagai negara teratas dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia.
Memang ternyata di negara-negara tersebut rakyatnya paling sejahtera di dunia, paling bahagia di dunia.Impian Reformasi Mahasiswa 98 itu bukan pula ingin menjadikan rakyat tinggal duduk berpangku tangan lalu negara mencekoki mulut-mulut lapar mereka. Salah besar itu. Pelajaran kuno tentang demokrasi menyatakan: from the people, by the people and for the people.
Suharto mengaku dari rakyat, dan setiap kebijakannya selalu mengatasnamakan rakyat dan ditujukan untuk rakyat. Namun semuanya adalah semu. Suharto memang membuat pemilu rutin dan ada DPR. Namun, karena menjalankan pemilu 5 tahunan bukan lalu berarti demokrasi ada. Menghidupkan DPR bukanlah bukti demokrasi sudah ada. Demokrasi akan ada jika pembagian kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif beriringan dengan kebebasan individual dan kelompok masyarakat berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
Di zaman Suharto memimpin pulalah di Indonesia terbentuk konglomerasi-kongomerasi bisnis yang massif yang mana mereka-mereka inilah yang tadinya diharapkan menjadi Bapak Angkat Pengusaha Kecil dari strategi "trickle down effect".
Sumber: