9 Naga di Kota Wisata Batu!
PADA suatu malam, tahun 2009, saya kedatangan seorang tamu, yang datang bersama keluarga besarnya, termasuk istri, putra dan putri, mantu bahkan cucu. Keluarga ini mengelola sebuah yayasan, yaitu Yayasan Immanuel.
Rombongan besar ini saya terima di ruang tamu rumah dinas pendopo, yang sekaligus juga menjadi ruang kerja. Di luar udara dingin. Angin berhembus lumayan kencang. Di ruangan, kami menjamu dengan kehangatan berupa teh panas, kopi dan jajanan ringan. Tamu saya memperkenalkan anggota rombongan sekaligus anggota keluarganya, satu demi satu, serta tidak lupa menyebut nama dan tempat tinggal masing-masing. Beberapa tinggal di Surabaya, beberapa lainnya di Jakarta.
Kepada saya kemudian dijelaskan tentang Yayasan Immanuel, yang bergerak di bidang sosial antara lain pendidikan, gereja, dan beberapa kegiatan sosial lainya. Yayasan ini telah berdiri cukup lama di Batu, jauh sebelum saya mendapatkan tugas di pemerintahan.
Singkat cerita, dijelaskan, bahwa Yayasan Immanuel memiliki lahan sekitar 1 hektar di Batu yang lokasinya berada di pojok jalan utama yang membelah kota. Sangat strategis untuk membangun apa saja. Saya terkejut, ketika saya diminta untuk membeli lahan tersebut, dengan penawaran yang seingat saya sangat menarik.
Tapi saya justru menganjurkan, jangan dijual. Saya katakan, perkembangan Batu sebagai Kota Wisata akan bagus, biarkan saja lahan sekitar satu hektar itu jadi aset ke depan yang tentu saja nilainya akan berlipat. Saya katakan ini, terus terang saja sebagai usaha saya untuk "ngeles" saja tawarannya, meskipun dalam hati sebenarnya saya mengakui lahan tersebut berada di lokasi yang sangat bagus.
Mungkin saja kolega Pak Wali ada yang bisa take over, kata tamu saya tersebut. Dalam hati saya tidak yakin, karena saat itu saya sendiri masih kesulitan mengajak kolega atau siapapun untuk berinvestasi di Batu. Sekali lagi, pada saat itu.
Sebulan kemudian, ada yang menghubungi via telpon, memberitahu bahwa ada Pak Mochtar Riadi lagi makan siang di Hotel Klub Bunga, sebelum dia mengadakan rapat perusahaan di Kota Malang. Dia datang ke Batu hanya untuk makan siang, sambil melihat kota kelahirannya. Begitu informasi dari telpon yang saya terima.
Selanjutnya diinfokan, bahwa Pak Mochtar Riadi, owner Lippo Group, setelah melihat keindahan dan perkembangan ekonomi Kota Batu, menyatakan ingin sekali investasi di kota kelahiranya ini. Saya menanggapinya biasa saja. Tetapi terus terang, adalah surprise besar buat saya apabila ada pengusaha besar mau investasi di Kota Wisata Batu.
Menjadi gayung bersambut setelah beliau berminat untuk membeli lahan milik Yayasan Immanuel. Jawaban saya, monggo langsung berhubungan dengan Yayasan Immanuel sebagai pemilik lahan. Singkat cerita, beberapa waktu kemudian tim dari Lippo menemui saya di pendopo. Menurut tim itu, Pak Mochtar ingin membangun mall. Keinginan itu tentu menjadi dilema buat saya, karena konsep Kota Wisata Batu yang kami rencanakan adalah Batu sebagai kota wisata pertanian, dan bukan kota metropolitan.
Saat itu belum ada keputusan, apakah boleh ada mall. Sebenarnya paling tepat adalah membangun sebuah pasar modern, sebagai perpaduan antara pasar modern dengan pasar tradisional. Di situ terdapat pula pasar buah, pasar sayur, dan pasar bunga. Saya menyempatkan diri turun ke warga di Desa Temas dan sekitarnya, menyampaikan kepada mereka informasi tentang kemungkian akan dibangunnya sebuah mall, apa pendapat mereka. Saya sengaja ingin menangkap apa aspirasi warga terhadap keinginan Lippo itu. Ternyata warga menyambut baik rencana itu, selama melibatkan warga sekitar dalam pembangunan maupun managementnya nanti.
Akhirnya semua sepakat pada berbagai ketentuan. Tinggi bangunan tidak lebih dari lima lantai. Jalan masuk ke mall satu pintu dengan perumahan di belakangnya yang sudah berdiri lebih dulu. Warga dilibatkan langsung, termasuk satu keluarga yang menghuni sebuah rumah kecil, yang sejak dahulu merawat dan menggarap lahan untuk bercocok tanam bawang. Rumah kecil itu tidak boleh digusur. Putra warga penggarap itu termasuk seorang tokoh, yang saya mengenalnya dengan baik.
Alhamdulillah, akhirnya semua beres, warga sekitar senang, semua dilampaui sesuai prosedur. Disepakati juga, nama mall itu adaah Batos. Memang saya menghadapi dilema ketika memutuskan untuk memberi ijin berdirinya sebuah mall di Batu Kota Wisata, karena bagi saya keberadaan mall tidak sesuai dengan konsep membangun dan mengembangkan kota yang sebagian besar warganya petani, biarkan kota lain yang lebih pantas.
Di Kota Wisata Batu harusnya tidak ada industri besar, sebagaimana Kota Wisata Batu tidak memerlukan adanya gerai otomotif dan swalayan-swalayan kecil. Hal itu sesuai dengan tata kota yang sudah disepakati sejak tahun 2010. Alangkah indahnya apabila orang datang ke Batu Kota Wisata, mereka tetap bisa melihat dan menikmati hutan, hijaunya lahan pertanian, dan bisa menikmati gemericik suara air selokan, serta denyut Kali Brantas. Bukan raung dan lengkingan mesin motor yang melewati jalanan menanjak, bukan hiruk pikuknya suara mobil mencari tempat parkir, termasuk di areal parkir yang ada di Balai Kota Among Tani.
Iya! Merumuskan, merangkai kemudian memutuskan sesuatu, kadangkala hanya di ujungnya yang nampak. Saya tidak tidak pernah bertemu dan kenal dengan Pak Mochtar Riadi, salah satu dari 9 Naga!
Sumber: