Lebaran Mik

A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
SAYA berlebaran ke rumah dokter Mik. Minta maaf. Saya pernah mengabarkannya meninggal dunia: bulan lalu.
Yang sebenarnya meninggal adalah dokter Mok. Kembarannya. Dengan wajah yang sangat mirip. Dengan hobi yang sama: menyanyi. Bermusik. Bikin grup band. Nama mereka pun mirip banget: Ario Jatmiko dan Ario Jatmoko.
Dokter Mik ahli kanker. Dokter Mok meninggal Akarena kanker. Di usia 73 tahun. Dua-duanya sering ke Australia. Menjadi permanent resident negara itu.
Ario Jatmiko adalah dokter pertama Indonesia yang mampu mendeteksi kanker payudara ketika penyakit itu belum bisa dilihat oleh alat: 4 mm.
Kemampuan deteksi kanker sedini mungkin adalah kunci berhasil tidaknya wanita sembuh dari penyakit kanker terbanyak di dunia itu.
Dokter Mik mendalami kanker di Belanda. Itu karena ibunya pernah menderita kanker payudara. Bisa sembuh. Ketika sang ibu akhirnya meninggal di usia 83 tahun itu bukan karena kankernyi muncul kembali.
Saya mengagumi dokter Mik karena prinsip hidupnya: hanya melihat dunia ini dari sudut baik dan buruk. Ia tidak pernah mempertimbangkan di dunia ini juga ada prinsip menang atau kalah. Bahkan untung atau rugi.
"Dengan memegang prinsip itu saya tidak bisa menjadi pebisnis yang besar," ujarnya di rumahnya yang sepi di lingkungan orang kaya di Kertajaya Indah, Surabaya. Dua anaknya tinggal di Australia. Yang satu mendalami teknik industri. Satunya lagi ambil komunikasi.
"Saya memang tidak mau anak saya jadi dokter. Saya juga tidak mau anak-anak jadi pengacara atau politisi," katanya.
Dokter Mik pernah tersinggung berat oleh orang yang memikirkan untung rugi. Ketika itu ia membuka klinik di sebuah rumah sakit. Pasiennya begitu banyak. Terbanyak. Lalu pemilik rumah sakit itu mengajaknya bicara: mengapa dari pasien yang begitu banyak hanya sedikit yang menjalani operasi.
Ternyata si pengusaha melihat untung-rugi. Juga berorientasi kalah dan menang. Rumah sakitnya tidak mau kalah. Ia menghendaki agar lebih banyak pasien menjalani operasi. Lalu bisa tinggal di rumah sakit lebih lama. Dokter Mik pun menjelaskan prinsip hidupnya sebagai dokter: mana yang terbaik untuk pasien. Yang tidak harus opname tidak akan diminta opname.
"Tapi kalau banyak pasien yang operasi dokter kan juga bisa dapat uang banyak," kilah si pengusaha.
"Dokter tidak boleh begitu," jawab dr Mik.
"Berarti dokter ini merugikan rumah sakit," tukas si pengusaha lagi.
Sejak itu dokter Mik memikirkan harus punya tempat praktik sendiri. Sesegera mungkin. Ia dapat rumah di Jalan Bawean, Surabaya.
Ketika Mik mendalami kanker payudara di Belanda, ia mendapat pujian sebagai ahli yang mumpuni. Tapi ia juga menerima nasihat dari profesornya di sana: semua yang Anda pelajari ini tidak ada gunanya kalau Anda tidak punya satu tim yang kuat. Untuk menangani kanker payudara harus ada empat dokter berbeda spesialisasinya: ahli kanker dan bedah kanker, ahli patologi, ahli anestesi dan ahli gizi.
Sumber: