Intimidasi Sihir dan Perempuan pun Mental
Saat aktif di KMI (Kulliyatul Mu’allimin/Mu’allimat al-Islamiyah) Pondok Modern Darussalam Gontor, sejumlah teman dan kakak kelas dari luar Jawa tidak bisa pulang ke rumah. Tiket pulang pergi mahal.
Mereka memutuskan bersilaturahmi ke Dolly karena penasaran dengan lingkungan tempat tinggal Rofik di Dolly yang dijuluki lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. “Saking ingin tahunya, mereka gonta-ganti ke rumah saya. Kalau lewat, mereka juga digoda,” kata alumnus Gontor 1997 itu.
Iman mereka sudah tebal. Tak akan tergoda.
“Tapi kan, yang menolak pesantren itu kan bukan warga sini,” sahut Kiai Nu’man memotong pembicaraan kami. Menurutnya, mayoritas pelaku “bisnis kelamin” berasal dari luar Surabaya. Mereka cuma numpang di Dolly, jadi pengontrak.
Jadi yang mengintimidasi dan menggoda pengurus JeHa bukan orang Jarak-Dolly. Pendatang sering kali membawa nama penduduk asli Dolly untuk mempertahankan prostitusi.
Sebab, perputaran uang begitu besar. Secara tidak langsung warga ikut meraup untung dari usaha parkir, warung, dan laundry.
Namun, Nu’man yakin jika disurvei, masyarakat yang ber-KTP Jarak-Dolly lebih suka situasi yang sekarang. Meski duit tak lagi mudah didapat, namun kehidupan bisa lebih tenang.
Perlahan nama Jarak-Dolly bersih dengan sendirinya. Tak ada lagi embel-embel yang melekat bahwa penduduk Dolly pasti bejat.
Kini mulai banyak yang berubah. Bahkan sejumlah anak PSK dititipkan di JeHa. Ibu mereka masih punya nurani. Tak mau anaknya terjerembap di lubang hitam yang sama.
Mereka ingin generasi penerusnya jadi jauharo: batu permata. Meski letaknya di kubangan, permata tetaplah permata. (*)
Sumber: