Noktah Hitam di Rapid Test
Baru dibongkar, alat rapid test bekas di Medan, eee... Kamis (6/5/2021), muncul rapid test ilegal di Semarang. Kalau rapid test bekas, menyebar umbel (ingus). Rapid test ilegal, menyebar kepalsuan.
*** Kepalsuan yang bisa berdampak kematian orang. Akibat hasil tes tidak akurat. Orang sehat bisa dinyatakan positif korona. Orang positif dinyatakan nonreaktif. Bolak-balik sama-sama berbahaya. Yang sehat jadi sakit. Yang sakit, menularkan ke banyak orang. Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi kepada pers mengatakan, pelaku SPM, 34, mengaku menjual rapid test ilegal sejak Oktober 2020 sampai Februari 2021. Per minggu laku 300–400 boks. "Keuntungan sekitar Rp 2,8 miliar. Harga alatnya lebih murah karena tanpa izin edar," kata Luthfi di kantor Ditkrimsus Polda Jateng Kamis (6/5/2021). Artinya, pelaku dapat Rp 2,8 miliar, mengabaikan bahaya bagi masyarakat. Mengabaikan potensi kematian orang lain. Itu kejahatan serius, yang sering tidak dianggap serius. Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, menggambarkan tingkat bahaya pemalsuan alat kesehatan, dengan sangat baik. Melalui tulisannya di jurnal ilmiah Depdikbud, 30 Juni 2016, Wimpie menggambarkan, pemalsu alat kesehatan atau obat adalah pembunuh berdarah dingin. Wimpie yang androlog itu tidak bicara ilmiah spesifik. Tidak. Ia mengutip film kriminal Law & Order karya Dick Wolf. Serial TV yang tayang di Amerika Serikat pada 1990 hingga 2010. Dalam episode Fluency, dikisahkan tentang pemalsuan vaksin. Akibat vaksin palsu itu, 19 balita tewas. Setelah sakit berbulan-bulan. Tersiksa, anak-anak dan ortu mereka. Kasusnya diungkap detektif andalan New York Police Department. Tersangka ditangkap. Lalu, kasusnya disidangkan. Episode itu fokus di persidangan. Jack McCoy, asisten jaksa wilayah eksekutif, memojokkan terdakwa di persidangan. Dengan argumen yang detail dan agresif. Intinya, jaksa McCoy menyatakan, terdakwa pemalsu vaksin adalah pembunuh berdarah dingin. Sangat kejam. Melalui perbuatannya, anak-anak mati. Setelah tersiksa sakit. Mati pelan-pelan. Dalam sakit berkepanjangan. Setelah jaksa menyampaikan argumen, di depan juri, pengacara terdakwa diberi waktu bicara oleh hakim. Ternyata pengacara menangkis argumentasi jaksa dengan enteng. Begini: ”Yang Mulia, uraian jaksa terlalu berlebihan. Klien saya hanya menjual larutan garam. Itu substansi yang sama sekali tidak berbahaya.” Bahwa berakibat kematian 19 anak, pengacara mengatakan, terdakwa ikut prihatin. Tapi, kematian mereka belum tentu akibat larutan garam. Hakim kemudian memberi jaksa kesempatan untuk berkomentar. Menanggapi tangkisan pengacara. Di luar dugaan, McCoy mengutip film pula (film mengutip film). Film Inggris kuno The Third Man (1949). Disutradarai Carol Reed, kisahnya ditulis Graham Greene. Tentang liku-liku pemalsuan vaksin. McCoy tidak bertele-tele. Ia fokus pada suatu sekuel adegan. Ketika penjahat (pemalsu vaksin) bernama Orson Welles ketemu teman lamanya. Dan, si teman sudah dengar, bahwa Welles jadi penjahat pemalsu vaksin. Welles dan teman naik kincir ria di taman hiburan, mirip Dufan di Ancol, Jakarta. Adegan dibangun sejak mereka naik kincir. Dialog mereka, tentang cara Welles mencari nafkah. Memalsu vaksin. Jadi kaya raya. Sementara itu, kincir terus bergerak naik. Sampai di titik puncak ketinggian. Di situ si teman bertanya: ”Mengapa kamu setega itu, Bro?” Welles tertawa kecil. Sambil menunjuk kerumunan orang, jauh di bawah. ”Kau lihat itu, kawan?” Si teman memandang heran, antara wajah Welles yang dingin dan kerumunan orang menyemut. Heran sekaligus ngeri. Welles: ”Apakah engkau merasakan sesuatu? Jika di antara noktah-noktah itu berhenti bergerak?” Si teman melongo. Mencerna, makna kata Welles. Jaksa McCoy menyitir film itu. Detail. Lantas berkata, sambil menunjuk, lurus ke terdakwa: ”Begitukah Saudara melihat risiko vaksin palsumu pada pasien? Mereka hanyalah noktah-noktah? Tanpa makna? Kalaupun mereka berhenti bergerak, apa pedulimu?” Prof Wimpie yang aslinya androlog mungkin lebih cocok jadi psikolog forensik. Oleh pemaparan tulisan tersebut. Psikolog forensik, yang prosais. Pamalsu alat tes swab di Medan membangun rumah tiga lantai. Alat tes bekas dicuci, lalu dipakaikan ke masyarakat. Di keramaian Bandara Kualanamu. Yang hanya noktah-noktah hitam, tiada arti. Pemalsu rapid test di Semarang sudah menjual jutaan boks. Beredar luas. Digunakan warga kawasan Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Bahkan, dipakai warga di luar Semarang pun. Apa bedanya? (*)
Sumber: