ASEAN Culture Park
SUATU malam, sekitar tahun 2013, kami ngobrol di sudut teras coffe shop Hotel Club Bunga Resort, sambil ngopi dilengkapi camilan. Pemandangan di luar sangat indah. Kerlap-kerlip lampu Kota Wisata Batu seperti ikut berbincang bersama kami. Udara sejuk, sesekali angin dingin berhembus. Kami duduk agak di luar, dengan atap langit yang bertabur bintang.
Kami berempat. Fokus pembicaraannya soal konsep membangun tempat wisata Asean Culture Park. Dalam hati kami berkata setengah tidak percaya, dengan topik itu, kok levelnya sudah Asean? Begitu cepatnya Kota Wisata Batu go international. Jadi berapa nilai investasi yang akan digelontorkan untuk pembangunan dengan konsep international itu? Iya, hampir Rp 100 miliar. Sangat fantastis, menurut saya. Timbul pertanyaan, apakah masyarakat, termasuk kami, sudah mampu menerawang bangunan megah dengan berbagai sarana yang akan dibangun?
Sebagai kota kecil, dengan wilayah hanya meliputi tiga kecamatan, memang ini menjadi tantangan yang tak kecil. Sebagian besar warganya hanya hidup dari sektor pertanian. Setiap saat, di jalan protokol pun nampak berseliweran motor yang meraung-raung, menarik gerobak kecil mengangkut rumput untuk makanan ternak, atau membawa sayuran hasil dari panenan. Suami duduk di depan, sementara istri atau keluarganya duduk di atas tumpukan muatan di bak belakang.
Memang, ketika itu dunia pariwisata sudah mulai merayap. Tetapi kehidupan masyarakat serta kebiasaan-kebiasaan mereka masih belum berubah sepenuhnya, masih sebagai masyarakat tani, dengan sedikit kehidupan yang mulai berfariasi. Warung-warung tenda mulai berdiri di pinggir jalan, toko-toko kecil yang berjualan mracangan satu demi satu dibuka untuk memenuhi kebutuhan warga sekitarnya.
Usaha mikro merayap beriringan dengan perkembangan pariwisata. Tetapi untuk membangun Asean Culture Park, sungguh tidak terpikirkan. Karena ide gagasan pembangunan tempat wisata dengan menyandang nama Asean, harus benar-benar menampilkan sebuah khas bangunan dan budaya dari negara-negara di kawasan ini yang beranggotakan Philipine, Singapore, Malaysia, Brunei, Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar, Timor Leste, Thailand dan Indonesia. Terus terang, tidak mudah untuk ditampilkan bersama-sama, dalam satu kawasan.
Semua hasil kerajinan tangan masing masing anggota negara Asean itu harus ditampilkan. Juga budaya mereka yang masing-masing memiliki ciiri khas. Termasuk satwa dan kuliner mereka, harus ditampilkan dalam satu area lokasi seluas 10 hektar, yang dilengkapi dengan hotel bertingkat, yang pada tiap lantainya menampilkan ciri masing-masing negara anggota Asean. Perpaduan monumental negara-negara Asean dalam konsep wisata ini, bermaksud untuk melengkapi destinasi kunjungan wisman seperti di Bali, Yogyakarta dan daerah-daerah lain.
Jarum jam terus berputar hingga menyentuh waktu tengah malam. Jaket yang menempel sudah tidak mampu menahan ganasnya dingin malam, padahal pembicaraan belum juga selesai. Terpaksa tempat mengobrol digeser lebih ke dalam coffee shop Hotel Club Bunga, untuk menghindari terpaan angin malam.
Resort Hotel Club Bunga memang menjadi favorit untuk liburan keluarga, seiring dengan berkembangnya sektor pariwisata di Kota Wisata Batu. Pada saat liburan, sangat sulit untuk memesan kamar di hotel ini, padahal tarif di hotel yang dibangun sekitar tahun 90an ini nayamul mahal. Untuk meneruskan obrolan malam itu, teman baru yang datang adalah sekoteng, kacang rebus dan roti bakar yang dipesan dari luar, karena dapur resto sudah tutup.
Sumber: