Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) akhirnya bisa membangun sebuah masjid setelah 13 tahun berdakwah di lokalisasi Jarak-Dolly. Tiga rumah pelacuran yang hampir setengah abad beroperasi sudah dibeli untuk jadi tempat sujud.
***
AMEG - Salah satu Pendiri JeHa M. Nasih mengangkat papan penutup lokasi pembangunan masjid, 15 April. Sore itu semua tukang sudah tak terlihat. Beberapa dari mereka beristirahat di rumah sebelah yang masih belum dirobohkan.
Sebagian temboknya sudah dilubangi untuk membuang material bangunan. Batu bata, pasir dan potongan kayu masih berserakan. Reruntuhan bangunan tidak dibuang. Kelak, semuanya material itu akan ditimbun bersama tanah urukan agar semua area masjid lebih tinggi dari jalan kampung.
Di dalam gedung setengah jadi itu, terdapat seorang pria yang sedang melihat ke arah langit-langit. Ia teliti hasil pekerjaan para tukang.
“Lho,ndik kene tibakno (Lho, ternyata di sini),” kata Nasih menyapa pria itu. Ia adalah Jufri, sang mandor sekaligus arsitek masjid. Pria serba bisa itu juga alumni Gontor. Satu almamater dengan Kiai Nu’man dan M. Rofi’uddin, sepupu Nasih yang juga pendiri JeHa.
Ia adalah teman masa kecil Kiai Nu’man. Sama-sama besar dan tinggal di lingkungan prostitusi. Saat remaja mereka dikirim ke Pondok Modern Gontor (berasal dari kata: panggon kotor) di Ponorogo untuk mempertebal iman dan ilmu. Sehingga, saat kembali ke Dolly, mereka tidak terkontaminasi dengan panggon kotor versi Surabaya itu.
Kini Kiai Nu’man ditakdirkan menjadi pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya. Membangun manusia. Sementara Jufri yang punya bakat arsitek dan teknik sipil itu ditakdirkan banyak membangun gedung. Dua sahabat beda bakat itu kini bertemu di proyek masjid JeHa.
Berdasar desain bikinan Jufri, lantai dasar gedung itu akan difungsikan sebagai masjid dan tempat mengaji. Sisanya akan dipakai untuk asrama ponpes. Sudah terbangun tangga yang terhubung dengan lantai dua masjid. “Yang atas nanti dipakai asrama putra. Monggo (silahkan), kalau mau naik,” ajak Nasih.
Kami naik tangga dari cor-coran selebar satu meter secara perlahan. Harus hati-hati karena pijakannya berpasir. Belum ada pegangan di kanan kirinya.
Banyak beton eser yang menjulang tinggi di atas masjid. Konstruksinya disiapkan untuk gedung tiga lantai. Namun, untuk tahap pertama JeHa masih fokus menyelesaikan lantai dua.
Nasih menerangkan, masjid diapit dua eks wisma yang akan dirobohkan. Yakni wisma nomor 25 dan 29. JeHa memutuskan untuk membangun masjid di rumah paling tengah (nomor 27), setelah menghitung ketersediaan anggaran.
Jika tiga rumah dirobohkan sekaligus, uang pembangunannya hanya cukup untuk membangun fondasi. “Kami robohkan satu, yang penting ada masjidnya dulu,” kata Nasih, pengusaha toko kelontong itu.
Jufri menerangkan masjid didesain membentuk huruf U. Ada halaman yang difungsikan sebagai ruang terbuka. Minimal ada tempat parkir.
Tapi halaman masjid hanya bisa menampung sepeda motor. Lebar Putat Jaya Gang IV B tak sampai dua meter. Banyak bangunan tak punya ruang parkir. Sepeda motor dijejer di tepi jalan sempit itu. Kendaraan roda empat sulit masuk.
Ini problem yang masih dipikirkan oleh pengurus JeHa. Suatu saat JeHa akan jadi ponpes besar dengan ribuan santri. Tak mungkin terus-terusan berkegiatan di gang sempit itu.